BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pengaturan
perkawinan merupakan bagian dari cita-cita penegakan hukum yang mengandung
maksud menciptakan kondisi kehidupan yang damai, tenteram, dan berkeadilan.
Keluhuran cita-cita hukum itu termanifestasi dalam bentuk pemahaman yang
menegaskan bahwa perkawinan adalah
fitrah manusia.
Menurut
Madjid (2000; 27) pengingkaran terhadap pengaturan perkawinan sama artinya
dengan mengingkari hukum alam raya yang telah diciptakan oleh Tuhan Sang Maha
Pencipta. Fenomena keretakan rumah tangga atau lebih khusus gagalnya perkawinan
yang penyebabnya sangat bervariasi, seperti pernikahan dini, perkawinan paksa,
dan perselingkuhan secara nyata telah mendistorsi perkawinan ke dalam bentuk
pengamalan agama secara artifisial-duniawi; perkawinan dimaknai sekedar sebagai
“lembaga penyalur” hasrat biologis manusia
Mengapa
banyak perkawinan atau kehidupan rumah tangga di Indonesia berlangsung di bawah
mentalitas yang salah (error of mentality) seperti itu? Jawabnya tidak lain
karena perkawinan tidak lagi dibangun di atas sikap yang penuh tanggungjawab.
Sikap bertanggungjawab terkait erat dengan taraf kedewasaan dalam perkembangan
kehidupan manusia.
Dalam
perspektif ilmu hukum, taraf kedewasaan itu dimaknai sebagai parameter yang
dapat menyatakan bahwa seseorang telah cakap hukum atau mampu melakukan
perbuatan hukum. Undang- undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia
menunjukkan parameter kedewasaan adalah ketika seseorang telah dipandang mampu
untuk kawin/menikah dengan alasan bahwa perkawinan merupakan wadah bagi
seseorang yang memiliki kemampuan untuk memikul tanggungjawab.
Oleh
karena itu perlu dirumuskan ketentuan usia perkawinan ideal yang didukung oleh
selain bukti-bukti ilmiah, juga oleh argumentasi logis sehingga pada gilirannya
dapat berfungsi sebagai indikator kedewasaan. Penentuan kedewasaan usia
perkawinan tersebut semakin penting artinya tatkala diingat bahwa ketika para
pakar Hukum Islam, bahkan para ilmuwan lain menentukan batas kedewasaan secara
variatif, pada saat yang sama, masyarakat terutama masyarakat desa menghendaki
untuk mengawinkan anaknya dalam usia yang masih di bawah umur. Beberapa ulama
mendukung hal itu, dengan alasan bahwa jika seseorang sudah mengalami proses
baligh maka orang itu sudah dipandang cakap untuk melakukan perbuatan hukum,
tanpa perlu memperhitungkan masalah pendidikan, masalah kemampuan mencari
nafkah, faktor pengaruh pada keturunan, dan lain-lain. Penentuan kedewasaan
secara variatif terjadi disebabkan karena terdapat perbedaan sudut pandang
hukum terhadap problema masyarakat dalam semua tingkatan sosial. Menurut
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kategori anak-anak
adalah orang yang masih di bawah usia 18 tahun, sedangkan dalam Undang-undang
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dirumuskan kategori
dewasa berumur 18 tahun, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, dinyatakan syarat dewasa berumur 18 tahun (atau sudah/pernah menikah).
Berdasarkan hal tersebut, sudah saatnya kini dilakukan kajian kritis terhadap
persoalan penafsiran isi hukum, termasuk menyangkut ketentuan usia perkawinan
dari perspektif filsafat hukum. Tujuannya adalah menafsirkan kembali makna
kedewasaan sehingga dapat dirumuskan sebuah konstruksi konseptual ideal
mengenai usia perkawinan yang dapat berkontribusi positif bagi pengembangan
Hukum Perkawinan Indonesia.
B. Rumasan
Masalah
Masalah-masalah penelitian yang dirumuskan adalah
sebagai berikut;
1. Apa
landasan filosofis perkawinan?
2. Bagaimana
fungsi filsafat hukum dalam konteks perkembangan hukum dan masyarakat?
3. Bagaimana
analisis filsafat hukum terhadap eksistensi ketentuan usia perkawinan dalam
Hukum Perkawinan Indonesia?
4. Apa
makna usia perkawinan menurut idealisasi filsafat hukum dan kontribusinya bagi
pengembangan Hukum Perkawinan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Perkawinan
Landasan Filosofis Perkawinan,
Lembaga perkawinan merupakan salah satu bentuk nyata yang dihasilkan dari
penataan dan sistematisasi organisasi hidup manusia dalam negara. Hal itu
terjadi dalam bentuk persekutuan hidup bersama antara suami dan istri melalui
perkawinan. Manusia, melalui lembaga perkawinan menyusun struktur hidupnya
dalam suatu organisasi rumah tangga yang kemudian disebut dengan keluarga.
Keluarga
kemudian menjadi elemen penting bagi terbangunnya sebuah komunitas manusia yang
setiap elemen dalam komunitas itu berkomitmen untuk menaati norma-norma hasil
kesepakatan bersama untuk secara bersama pula mencapai tujuan hidup komunitas.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa perkawinan bagi manusia adalah suatu
keniscayaan. Dalam konteks teologis, perkawinan adalah sunnah atau ketentuan
Tuhan, sebagaimana Nabi Adam a.s. diberi tempat oleh Allah SWT di surga dan
baginya diciptakan Hawa untuk mendampingi, menjadi teman hidup, menghilangkan
rasa kesepian, dan melengkapi fitrahnya untuk menghasilkan keturunan.
Sebagai
perbuatan manusia dewasa, perkawinan merupakan peristiwa yang dapat berlangsung
setelah melalui pertimbangan baik rasional maupun emosional atau mental. Selain
dipikirkan dan diterima oleh akal sehat, semua persiapan perkawinan adalah
persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai
dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta
memahami arti perkawinan.
Dalam
tahap persiapan perkawinan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis
merupakan hal yang penting dan perlu dijalani.
Dengan pertimbangan rasional dan emosional, perkawinan manusia dewasa
akan semakin mantap, bahagia, dan langgeng ketika pasangan saling mengasihi dan
saling menghargai. Cinta kasih harus diwujudkan dalam tingkah laku sehari-
hari. Bentuk cinta kasih yang paling sederhana adalah memberik[1]an
ucapan terima kasih dan menyatakan permohonan maaf kepada pasangan. Terima
kasih atas perhatian dan kasih sayang yang diberikan serta mohon maaf atas kesalahan
yang dilakukan terhadapnya.
Perbuatan
kawin hanya pantas dilakukan oleh manusia dewasa, dalam pengertian manusia
dewasa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Setiap pasangan suami-istri
yang dewasa memiliki level perkembangan psikologis yang lebih matang
dibandingkan dengan pasangan yang melaksanakan perkawinan sebelum dewasa.
Konsekuensinya, perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang belum mencapai
taraf dewasa sulit berpikir dan bertindak secara bertanggungjawab.
Keluarga
sebagai basis inti masyarakat, adalah wahana yang paling tepat untuk
memberdayakan manusia dan membendung berbagai faktor yang mendorong lahirnya
berbagai bentuk frustrasi sosial. Pengertian ini bersifat aksiomatis dan
universal dalam pengertian bahwa masyarakat mana saja memerlukan wahana
pemberdayaan itu. Di Eropa misalnya, saat ini para sosiolog merasa gelisah
karena prediksi kepunahan bangsa. Betapa tidak, tatanan, sakralitas dan
antusiasme terhadap keluarga sudah tipis sekali di kalangan muda. Hal itu tentu
saja berdampak buruk terhadap angka pertumbuhan penduduk. Berbagai penyakit
sosialpun muncul. Mulai dari angka bunuh diri yang tinggi hingga anomali
kemanusiaan yang lain.
Dalam
pembentukan keluarga, perkawinan mempunyai tujuan untuk mewujudkan ikatan dan
persatuan. Adanya ikatan keturunan, diharapkan mempererat tali persaudaraan
anggota masyarakat dan antar-bangsa. Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam
berkeluarga juga akan tampak dalam pengertian bahwa perkawinan merupakan sarana
untuk mendapatkan keberkahan, karena apabila dibandingkan antara kehidupan
bujangan dengan kehidupan orang yang telah berkeluarga, maka terlihat bahwa
yang telah berkeluarga lebih hemat dan ekonomis dibandingkan dengan yang
bujangan. Selain itu orang yang telah berkeluarga lebih giat dalam mencari
nafkah karena perasaan bertanggungjawab pada keluarga lebih besar daripada para
bujangan.
Secara
ontologis, perkawinan dapat dipahami dan diketahui keberadaannya dari
perjanjian atau ikatan batin yang menjalin dua makhluk yang berbeda jenis; pria
dan wanita. Suatu ikatan batin merupakan hubungan yang telah terjadi atau
sesuatu yang tidak tampak, namun harus ada. Ikatan batin tersebut hanya dapat
dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, ikatan batin
merupakan dasar fundamental dalam membentuk dan membina keluarga atau rumah
tangga. Ikatan batinlah yang menjadi petunjuk otentik bagi adanya perkawinan.
Lebih jauh, perjanjian atau ikatan batin itu merupakan manifestasi dari nilai
kemanusiaan yang bersifat agung dan mulia sehingga membedakan manusia dengan
makhluk-makhluk lain.
Hubungan
antar-jenis makhluk manusia berjalan di atas aturan yang sesuai dengan naluri
kemanusiaan dan hal itu justru untuk menjaga kemuliaan dan kehormatan manusia.
Hubungan antar-jenis dari kalangan manusia adalah hubungan yang agung, yang
dibangun atas dasar kerelaan. Hukum Perkawinan kemudian ditetapkan untuk
mengatur hubungan itu. Berdasarkan pada hukum itu pula, maka tidak dapat
diragukan lagi bahwa perkawinan adalah bentuk terbaik untuk menyalurkan naluri
antara pria dan wanita.
Identitas
eksistensial atau keberadaan manusia berkembang melalui Hukum Perkawinan; pria
menjadi suami, sedangkan wanita menjadi istri. Lebih lanjut, dengan Hukum
Perkawinan, manusia menyalurkan nalurinya dalam melahirkan keturunan yang akan
menjamin keberlangsungan eksistensial manusia di dunia ini. Pada saat yang sama
atau ketika keturunan dilahirkan, identitas pria sebagai suami berubah menjadi
seorang ayah dan wanita sebagai istri menjadi seorang ibu. Secara
epistemologis, perkawinan merupakan khazanah peradaban manusia yang pertumbuhan
atau perkembangannya secara langsung atau tidak langsung dilandasi oleh ilmu.
Pelaksanaan perkawinan akan sulit dilakukan seandainya ilmu atau pengetahuan
tentang perkawinan tidak ada. Tugas ilmu perkawinan adalah menjawab
masalah-masalah sekitar perkawinan sehingga manusia dapat memperoleh kebenaran
tentangnya.
Dasar
epistemologis perkawinan dapat dengan mudah dipahami melalui kajian nilai-nilai
epistemik yang terkandung dalam pengertian perkawinan Islam yang menggariskan
bahwa perkawinan merupakan salah satu dari sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Arti
sunnah sendiri adalah laporan mengenai masa lalu, khususnya laporan seputar
perkataan, perbuatan dan persetujuan diam yang ditunjuk (taqrir) oleh Nabi
Muhammad SAW.
Laporan
perkawinan dalam bentuk sunnah pada hakikatnya merupakan gambaran mengenai
bagaimana keputusan dan cara pelaksanaan perkawinan Nabi Muhammad SAW di masa
lampau yang telah terjadi. Kriteria yang diterapkan untuk menguji kebenaran
laporan zaman silam itu adalah seperti kriteria untuk menguji kesaksian para
saksi di lembaga peradilan. Perkawinan dari aspek aksiologis adalah salah satu
nilai kehidupan yang bersifat mendasar. Oleh karena itu, untuk membicarakan
aspek aksiologis perkawinan, hal itu tidak dapat dilepaskan dari dimensi agama,
etika, dan estetika yang disandang oleh sebuah perkawinan. Dalam pandangan agama, perkawinan secara
tegas dipahami sebagai berkah yang diberikan Tuhan kepada manusia, terutama
melalui jalan yang benar, manusia dapat memenuhi hajat hidupnya yang paling
fundamental, yaitu sebagai makhluk yang bernaluri biologis.
Perkawinan
tidak hanya tempat memuaskan nafsu seksual atau birahi, melainkan secara etis
merupakan hubungan kemanusiaan, hubungan saling membangun untuk sebuah
kehidupan yang damai dan sejahtera lahir-batin, serta hubungan untuk melahirkan
generasi manusia yang sehat, cerdas, dan berkeadaban dalam kedudukan manusia
sebagai makhluk Tuhan.
Perkawinan
tidak saja suci namun juga indah. Sejak Tuhan menghendaki persatuan antara pria
dan wanita yang diwujudkan secara mendalam di dalam perkawinan, maka pada saat
itu manusia terikat pada sebuah perjanjian untuk saling setia. Secara
filosofis, keindahan perkawinan terletak pada kesetiaan ini. Nilai religius
perkawinan bersumber dari agama yang memandang perkawinan sebagai bibit pertama
dan cikal bakal kehidupan masyarakat, dan aturan yang bersifat alami bagi alam
semesta yang diciptakan Tuhan dalam rangka menjadikan kehidupan semakin
bernilai dan mulia.
Pada
hakikatnya perkawinan merupakan hubungan batin, wujud cinta yang penuh
kejujuran dan kerjasama serta kehidupan yang penuh dengan ruh kebersamaan dan
kasih sayang untuk membentuk keluarga yang baik, sekaligus memakmurkan alam
semesta. Dalam lalu lintas Hukum Perdata, keabsahan perkawinan menentukan sejak
kapan timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami-istri) dan
hubungan hukum dengan pihak ketiga serta kapan harta bersama dianggap mulai ada
yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hubungan perikatan yang diadakan oleh
pasangan suami-istri.
Ketentuan
tersebut merupakan suatu hal yang logis diupayakan untuk menegakkan keadilan
dalam hubungan suami-istri. Perkawinan tidaklah semata- mata sebagai tempat
memuaskan nafsu seksual atau birahi, melainkan lebih dari itu merupakan
hubungan kemanusiaan, hubungan saling membangun untuk sebuah kehidupan yang
adil sehingga melahirkan generasi manusia yang sehat, cerdas, dan berkeadilan.
Kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu mashlahah, dalam hal ini
keadilan, menunjukkan segi formal dan tekstual dari ketentuan Hukum Perkawinan
tidak harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang mengesahkan
perkawinan, bagaimanapun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam
kehidupan bersama.
Pada
saat yang sama, patokan legal-formal dan tekstual suatu aturan perkawinan hanya
merupakan cara bagaimana mashlahah keadilan itu diaktualisasikan dalam
kehidupan nyata. Hal ini berarti ketentuan formal-tekstual yang datang dari
manapun sumbernya harus selalu terbuka dan atau diyakini terbuka untuk diubah
atau diperbaharui sesuai dengan tuntutan mashlahah, yaitu cita-cita keadilan.
B. Fungsi
Filsafat Hukum Dalam Konteks Perkembangan Hukum Dan Masyarakat.
Filsafat
dapat dipahami sebagai kegiatan intelektual yang bersifat metodis dan
sistematis. Makna hakiki dari keseluruhan yang-ada dan gejala-gejala yang
termasuk dalam keseluruhan yang-ada itu dapat diungkapkan melalui cara
perenungan filosofis (reflektif). Di
antara gejala-gejala yang ditemui manusia dalam hidupnya terdapat hukum.
Apabila hukum menjadi objek filsafat, maka hal yang dicari dalam filsafat hukum
adalah makna hukum, sebagaimana tampak dalam hidup manusia. Menurut Apeldoorn
(1985: 439), filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan; apakah hukum
itu? Filsafat hukum menghendaki agar manusia berpikir masak-masak tentang
tanggapannya sendiri dan bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya yang
ditanggapi oleh hukum itu.
Mengenai
batas antara ilmu pengetahuan hukum dengan filsafat hukum dikatakan, bahwa di
mana ilmu pengetahuan hukum berakhir, di sanalah filsafat hukum mulai. Filsafat
hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh ilmu
pengetahuan hukum. Fungsi filsafat hukum
dapat dikatakan untuk menguji keefektifan hukum positif. Hal ini sesuai dengan
adanya tuntutan atas setiap hukum yang berlaku, yaitu untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang selalu berubah dalam setiap waktu dan tempat. Pengertian
tersebut sesuai dengan penegasan Pound, sebagaimana dikutip oleh Najmi (1989:
22) yang menyatakan bahwa fungsi filsafat hukum adalah untuk mengukur
kaidah-kaidah, doktrin-doktrin dan lembaga-lembaga sehingga dapat bermanfaat
bagi masyarakat. Selain itu, fungsi filsafat hukum adalah untuk mengarahkan
atau memimpin penerapan hukum dengan menunjukkan tujuan hukum. Huijbers (1982: 19) mengungkapkan bahwa awal
pertumbuhan pemikiran tentang hukum secara filsafati, pada mulanya muncul dari
negeri Yunani, yaitu mulai dari pemikiran Hemer sampai kaum Stoa.
Pemikiran
itu dilatarbelakangi oleh adanya dua unsur yang terpadu, yaitu; kondisi polis
dan bakat merenung bangsa Yunani. Pada zaman Yunani Kuno, hukum dipandang
sebagai sesuatu yang meliputi alam semesta. Belum dibedakan antara hukum alam
dan hukum positif. Kedua- duanya dianggap sabagai bagian dari aturan Ilahi.
Orang
yang memberontak, yakni melewati batas aturan, akan mendapat balas dendam
karena kesombongan (hubris) (Friedmann, 1990: 17). Dalam Abad Pertengahan,
aturan alam tetap dianggap sebagai norma bagi kehidupan orang, tetapi motifnya
berubah. Alam tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang suci, sehingga alasan
dari dulu untuk tunduk kepadanya telah hilang. Namun menurut ajaran agama yang
bertambah kuat dalam zaman itu, alam merupakan ciptaan Allah dan karenanya
manusia tunduk kepada kehendak Allah.
Augustinus (354 - 430 M) adalah pemikir
Kristiani yang paling besar pada awal Abad Pertengahan. Menurut pandangannya,
kebenaran tidak ditemukan pertama-tama dalam pikiran akal-budi teoritis,
sebagaimana diajarkan oleh filsuf- filsuf. Melalui budi-Nya, Allah menciptakan
segala-galanya, lalu Allah menjaganya oleh sebab dalam Allah terletak suatu
rencana tentang berjalannya semesta alam.
Pemikir besar yang kedua dalam Abad Pertengahan adalah Thomas Aquinas
(1225-1275 M), seorang rohaniwan gereja Katholik yang lahir di Italia, lalu
belajar di Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus. Dalam membahas arti hukum,
Aquinas mulai membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum
yang dijangkau oleh akal-budi manusia sendiri.
Hukum
yang didapati dari wahyu disebut “hukum Ilahi positif” (Ius Divinum Positivum).
Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam.
Pertama-tama terdapat hukum alam (Ius Naturale), kemudian juga hukum
bangsa-bangsa (Ius Gentium), akhirnya hukum positif manusia (Ius Positivum
Humanum) (Huijbers, 1982: 24-25). Pada zaman modern, muncullah pandangan bahwa
manusia, karena keunggulannya sebagai pribadi harus diakui sebagai penegak
hukum. Selaras dengan pandangan ini, alam tidak berfungsi lagi sebagai norma utama
dalam pembentukan peraturan-peraturan. Norma utama adalah akal budi manusia.
Dalam akal budinya, manusia secara rasional mengenal prinsip-prinsip yang
mengatur kehidupannya.
Rahardjo (1986: 224-225) menyatakan filsafat
hukum bukan dan tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu hukum, tetapi sebagai
bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Berdasarkan
pendapat Rahardjo tersebut, teori hukum dapat dipahami sebagai teori yang tidak
sama dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang lainnya. Teori hukum
boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif,
setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah, manusia mengonstruksikan
kehadiran teori hukum secara jelas.
Meskipun tidak merupakan bagian dari cabang ilmu hukum, namun filsafat
hukum berhubungan secara erat dengan ilmu hukum.
Dalam
hubungan itu, filsafat hukum dapat membantu ilmu hukum dalam menangkap hakikat
hukum yang merupakan tugas filsafat hukum. Oleh karena itu, terkait dengan
hakikat hukum, hubungan antara filsafat hukum dengan ilmu hukum terwujud dalam
pengertian ilmu hukum dilandaskan pada tiga pilar atau landasan keilmuan hukum,
yaitu; landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Penemuan
hukum pada hakikatnya mewujudkan pengembangan hukum secara ilmiah dan secara
praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi
problematis yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan
pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik- konflik hukum atau
sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum
diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan- pertanyaan tentang hukum
dan pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa kongkrit.
Penemuan
hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan
jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum. Tindakan seorang ahli hukum
dalam situasi semacam itu disebut penemuan hukum atau rechtsvinding. Dalam
proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut
untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu; 1) senantiasa mampu
menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang kongkrit (perundang-undangan) terhadap
tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat dengan selalu memperhatikan
kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup di dalam
masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri; dan 2) senantiasa mampu
memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan
yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.
Makna penemuan hukum adalah mencari dan
menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang
tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat. Makna ini sangat penting artinya tatkala diperhatikan bahwa sejak
memasuki abad XX, terdapat banyak undang-undang yang tidak lengkap namun
diberlakukan, dalam pengertian bahwa nilai-nilai yang dituangkan tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat.
Pengembangan ilmu hukum berintikan kegiatan menginterpretasi teks
yuridis untuk mengungkapkan kaidah hukum yang (secara implisit) terdapat pada
teks yuridis tersebut dan dengan itu menetapkan makna dan wilayah penerapannya.
Antara ilmuwan hukum (interpretator) dan teks yuridis itu terdapat jarak waktu.
Teks yuridis adalah produk pembentuk hukum untuk menetapkan perilaku apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan orang yang berada dalam situasi
tertentu karena hal itu oleh pembentuk hukum dipandang merupakan tuntutan
ketertiban yang berkeadilan. Ditunjukkan
oleh Najmi (1989: 28), hukum sebagai tool of social engineering sebetulnya
pertama kali diperkenalkan oleh Roscoe Pound yang berpandangan bahwa hukum
muncul sebagai alat untuk menciptakan perubahan. Perubahan oleh hukum dapat
didahului oleh penemuan teknologi, kontrak, konflik kebudayaan, gerakan-gerakan
sosial, fungsi perubahan fisik, biologis serta kependudukan. Setelah itu hukum
hadir untuk menyelesaikan persoalan yang timbul akibat adanya perubahan
tersebut.
Menurut
Pound, sebagaimana ditunjukkan oleh Friedmann (1953: 350-351), fungsi social
engineering dari hukum maupun putusan hakim ditentukan dan dibatasi oleh
kebutuhan untuk menyeimbangkan antara stabilitas hukum dan kepastian terhadap
perkembangan hukum sebagai alat evolusi sosial. Selain itu, kebebasan
pengadilan yang merupakan hal esensial dalam masyarakat demokratis dapat
ditentukan lebih lanjut jika pengadilan bertindak sebagai penerjemah-
penerjemah yang tertinggi dari konstitusi. Di Indonesia, konsep Pound
dikembangkan oleh Kusumaatmadja yang menegaskan bahwa hukum di Indonesia tidak
cukup berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Pendekatan
sosiologis yang disarankan oleh Kusumaatmadja (1970: 1-13) dimaksudkan untuk
tujuan praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan
sosial-ekonomi. Kusumaatmadja juga melihat urgensi penggunaan pendekatan
sosiologis dengan mengambil model berpikir Pound yang lebih dirasakan oleh
negara-negara berkembang daripada negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena
mekanisme hukum di negara-negara berkembang belum semapan di negara-negara
maju. Menurut Magnis-Suseno (1988: 81) sifat hakiki hukum, di samping menjamin
kepastian hukum dalam pelaksanaannya, juga mengupayakan tegaknya keadilan.
Keadilan itupun mempunyai dua arti. Dalam arti formil keadilan menuntut bahwa
hukum berlaku umum. Dalam arti material dituntut agar hukum sesuai dengan
cita-cita keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan
dalam arti material; isi hukum harus adil. Dengan maksud untuk mewujudkan
tatanan kehidupan bersama yang adil termasuk hakikat hukum sendiri. Suatu hukum
yang tidak mau adil itu bukanlah hukum.
Hal
yang diperlukan dan diakui masyarakat bukan sembarang tatanan normatif,
melainkan suatu tatanan yang menunjang kehidupan bersama berdasarkan penilaian
baik dan wajar. Oleh karena itu, arah pelaksanaan keadilan adalah konstitutif,
atau merupakan prasyarat hakiki bagi hukum.
C. Analisis
Filsafat Hukum Terhadap Eksistensi Ketentuan Usia Perkawinan
Dalam
Hukum Perkawinan Indonesia Pada saat negara secara formal belum terbentuk atau
pada masa kerajaan- kerajaan otonom tersebar luas di pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi, di Indonesia berlaku berbagai macam Hukum Adat dengan
sistem sosial-politik yang besar dan beragam. Di Jawa misalnya, berlaku Hukum
Adat yang bersumber dari tujuh suku (etnik) secara berbeda-beda. Pemberlakuan
ketujuh macam Hukum Adat di Jawa didasarkan pada sebuah sistem sosial-politik
Jawa, misalnya bercorak Hindu sehingga muncul hirarki dalam masyarakat (Jaspan,
1991: 3).
Di samping itu, sistem hukum pada masa otonomi
kerajaan-kerajaan tersebut, dalam sejumlah kasus ditentukan oleh sistem
kekerabatan yang ada, misalnya sistem kekerabatan matrilineal untuk daerah
Minangkabau, patrilineal untuk Batak, dan parental atau bilateral untuk Jawa.
Ketika
Islam masuk ke Indonesia dan menyebar hampir ke seluruh kepulauan di Indonesia pada
abad XIII, berbagai daerah menjadi kerajaan Islam, yang berimplikasi pada
diterimanya Hukum Islam sebagai salah satu hukum yang berlaku. Pada masa itu
masyarakat di kepulauan Nusantara berusaha menggabungkan antara Hukum Adat dan
Hukum Islam. Setelah kemerdekaan
berhasil diraih oleh bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, upaya unifikasi
sistem hukum dimulai. Upaya ini sulit diwujudkan karena di samping realitas
budaya beragam dan kepentingan bermacam-macam, juga karena kerangka hukum sangat
heterogen, baik Hukum Adat, maupun Hukum Islam.
Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan di
bidang Hukum Perkawinan, dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum
Nikah, Talak, Rujuk (disingkat dengan NTR). Panitia NTR ini, dengan
mengevaluasi pengaturan perkawinan yang berlaku (warisan pemerintah kolonial
Belanda), membuat dua macam Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan, yaitu; 1)
RUU Perkawinan yang bersifat umum; dan 2) RUU Perkawinan yang bersifat khusus
untuk masing-masing agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, dan Buddha).
Walaupun dipenuhi dengan kritik, terutama dari kelompok wanita, pada akhirnya
Undang-undang Republik Indonesia No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara
resmi disahkan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur tentang perkawinan bagi
bangsa Indonesia.
Selain
itu, walaupun juga telah terbentuk suatu unifikasi hukum tentang perkawinan,
namun pada prakteknya, terutama yang terjadi di PA, pendapat masing-masing
hakim sesuai dengan kitab fiqh yang dirujukinya. Akibat tidak adanya standar
baku yang berlaku di PA, keputusan yang diambil oleh para hakim seringkali
berbeda untuk kasus yang sama, sehingga dapat dikatakan subjektifitas hakim
sangat tinggi.
Bahkan
hakim dapat mempergunakan keputusan hukum yang diambil sebagai alat politik
untuk menyerang pihak lain (Basri, 1992: 21). Ditinjau dari sudut pandang teori
hukum, hal ini berarti bahwa produk-produk PA bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum (Sadzali, 1999: 2). Berdasarkan
alasan-alasan itulah, Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi
di Indonesia, pada tahun 1985 mengusulkan agar dirumuskan suatu Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang dimaksud sebagai buku standar bagi para hakim di PA. Usulan
ini pada mulanya tidak mendapat respon. Namun ketika Menteri Agama, Munawir
Sadzali mengusulkan hal yang sama, mulailah masyarakat meresponnya. Dalam konteks positivisme hukum, ketentuan
usia perkawinan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun
1974 mengidap persoalan yang tentu tidak mudah diselesaikan. Indikasi
problematis usia perkawinan yang paling menonjol, adalah sebagaimana telah
dipaparkan di atas, muncul ketika dihadapkan pada pasal 7 ayat (2) tentang
dispensasi kawin yang wewenang yuridis untuk keperluan itu diberikan kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita sehingga dinilai mengurangi sakralitas perkawinan.
Mempertimbangkan
realitas masyarakat Indonesia yang hidup dengan watak yang religius, maka untuk
tetap menjaga sakralitas perkawinan, pertimbangan- pertimbangan hukum yang
berasal dari ajaran agama patut digunakan dalam memberlakukan ketentuan usia
perkawinan itu. Pemikiran yang mendasari pertimbangan ini adalah teori hukum
yang dirumuskan oleh aliran Sosiological Jurisprudence yang memberikan
perhatian sama pentingnya kepada faktor-faktor penciptaan dan pemberlakuan
hukum, yaitu masyarakat dan hukum.
Perkawinan adalah suatu peristiwa hukum dan sebagai peristiwa hukum maka
subjek hukum yang melakukan peristiwa tersebut harus memenuhi syarat. Salah
satu syarat manusia sebagai subjek hukum untuk dapat dikatakan cakap melakukan
perbuatan hukum adalah harus sudah dewasa. Mengingat hukum yang mengatur
tentang perkawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka ketentuan
dalam UU Perkawinan harus ditaati oleh semua golongan masyarakat yang ada di
Indonesia. Salah satu prinsip yang
dianut UU Perkawinan Indonesia itu adalah bahwa calon suami-istri harus telah
matang dari segi kejiwaan dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Maksudnya tidak lain kecuali dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian dan memperoleh keturunan yang baik dan sehat. Untuk
itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih di
bawah umur.
Tidak
satupun ayat al-Quran secara jelas dan terarah menyebutkan ketentuan usia
perkawinan dan tidak pula ada hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan hal
itu, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat berumur
baru enam tahun dan menggaulinya setelah berumur sembilan tahun (Syarifuddin,
2009: 66). Dasar pemikiran dari tidak adanya ketentuan usia pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan tersebut sesuai dengan pandangan umat ketika itu
terhadap hakikat perkawinan. Perkawinan tidak dipandang dari segi hubungan
kelamin, tetapi dari segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan mushaharah.
Nabi Muhammad SAW mengawini Aisyah, anak dari Abu Bakar ra. dalam usia enam
tahun di antaranya ditujukan untuk kebebasan Abu Bakar ra. memasuki rumah
tangga Nabi karena di dalamnya terdapat anaknya sendiri.
Namun saat ini, perkawinan lebih ditekankan
pada tujuan hubungan kelamin, dan oleh karena itu, tidak adanya ketentuan,
secara khusus batas umur, sebagaimana berlaku dalam kitab-kitab fiqh sudah
tidak relevan lagi. Meskipun ketentuan usia secara eksplisit tidak disebutkan
dalam al-Quran atau hadits Nabi Muhammad SAW, namun perkawinan sebagai
peristiwa hukum, dalam pandangan hukum Islam berdampak pada timbulnya hak dan
kewajiban suami-istri. Adanya hak dan kewajiban itu, perkawinan mengandung arti
melibatkan orang-orang yang sudah cukup dewasa.
Selain
itu, dari adanya persetujuan atau izin sebagai syarat perkawinan juga diperoleh
pengertian bahwa perkawinan berlangsung atas persetujuan orang yang sudah
dewasa. Kondisi keluarga yang bahagia merupakan keluarga ideal yang dicita-
citakan dan didambakan oleh setiap pasangan suami-istri. Keluarga yang bahagia
atau keluarga yang ideal adalah keluarga yang seluruh anggotanya merasa bahagia
yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekacauan dan merasa puas terhadap
seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang
meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.
D. Idealisasi
Usia Perkawinan dan Maknanya dalam Pengembangan Hukum
Suatu
perkawinan, secara ideal dilakukan oleh pasangan pria-wanita yang telah
memiliki kematangan, baik dari segi biologis maupun psikologis. Kematangan
biologis adalah apabila seseorang telah memiliki kematangan baik dari segi
usia, maupun dari segi fisik. Sedangkan kematangan psikologis adalah bila
seseorang telah dapat mengendalikan emosinya dan dapat berpikir secara baik,
serta dapat menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan subjektif- objektifnya.
Menurut
perspektif ilmu psikologi, seorang individu dinyatakan dewasa jika telah lepas
atau melewati masa remaja. Adapun masa remaja adalah tahap usia yang datang
setelah masa kanak-kanak berakhir dan ditandai oleh pertumbuhan fisik secara
cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi pada tubuh remaja luar dan dalam itu,
membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta
kepribadiannya (Daradjat, 1995: 8). Hal inilah yang membawa para pakar
pendidikan dan psikologi condong untuk menamakan tahap-tahap peralihan tersebut
dalam kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap peralihan dari
kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki masa dewasa. Dari perspektif
sosiologis, usia remaja dapat diartikan sebagai masa berintegrasinya seseorang
dengan masyarakat dewasa. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak
aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga
perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari
cara berpikir remaja memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan
sosial orang dewasa yang kenyataannya merupakan ciri khas umum periode
perkembangan. Perkawinan sebagai sebuah institusi, dipandang dari perspektif
sosiologis adalah lembaga keluarga yang tidak hanya menjamin kelangsungan hidup
manusia tetapi juga menjamin stabilitas sosial dan eksistensi yang bermartabat
bagi pria dan wanita dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, lembaga perkawinan
yang dibangun oleh pasangan yang secara psikologis belum memiliki kematangan,
dapat menimbulkan disharmoni dalam masyarakat, seperti dapat dilihat pada
fenomena anak terlantar. Dalam
perkembangan berlakunya ketentuan Undang-undang No.1 tahun 1974, terutama
terkait dengan pasal 7 ayat (1), angka perceraian relatif tinggi yang
disebabkan oleh faktor kesehatan. Salah satu problem kesehatan yang menyebabkan
perceraian itu terkait dengan kesehatan reproduksi wanita yang pada gilirannya
mengakibatkan pasangan tidak mampu memiliki keturunan.
Jika
pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menentukan usia perkawinan wanita pada usia 16
tahun, maka peringatan para ahli kesehatan patut dijadikan bahan pertimbangan
untuk merenungkan resiko yang akan terjadi bagi wanita. Beberapa ahli kesehatan
menyatakan bahwa perkawinan dari pasangan usia muda bagi wanita, terutama di
bawah usia 17 tahun beresiko kena kanker serviks. Perkawinan pada usia matang, oleh beberapa
ahli justru menunjukkan manfaat atau dampak kesehatan yang positif bagi pria.
Penelitian mengenai hubungan antara perkawinan
dan kesehatan pria itu sudah dilakukan sejak awal tahun 1858 oleh William Farr,
ahli epidemiologi Inggris, sebagaimana ditunjukkan oleh Morabia (2004: 112)
bahwa kadar hormon stres kortisol pria berkurang sehingga mengurangi
kemungkinan terkena penyakit kronis dan membuat pria hidup sehat lebih lama. Seorang yang telah dewasa dianggap mampu
berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula
menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa
orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada
pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat
perjanjian, membuat surat wasiat. Usia
21 tahun merupakan usia ideal yang signifikan dalam membangun atau menciptakan
sebuah perkawinan ideal. Meskipun usia 21 tahun itu tidak disebutkan secara eksplisit,
namun dalam keterangan yang sifatnya lebih praktis dari Shihab (2000: 212),
ditunjukkan bahwa perkawinan ideal itu terbangun dari pasangan yang berusia
matang atau dewasa.
Perkawinan
ideal merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic demand) sekaligus tujuan bagi
setiap pasangan sebagai manusia normal. Tanpa kebutuhan dan tujuan itu,
kehidupan perkawinan pasangan menjadi tidak sempurna. Lebih dari itu, menyalahi
fitrahnya. Usia perkawinan dalam pemikiran hukum Islam hanya dipersyaratkan
telah mencapai baligh antara kedua calon suami-istri. Syarat ini inheren dengan
syarat-syarat perkawinan.
Di
samping itu, terdapat rukun perkawinan seperti yang dijelaskan Ramulyo (1996:
72), juga oleh Dahlan (1996: 1331).
Didasari oleh filsafat hukum Islam, ushul ul-fiqh menegaskan bahwa salah
satu syarat sah perkawinan adalah telah mencapai usia baligh sehingga secara
tegas harus memenuhi ketentuan hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan pasal 2
ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu; “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Usia
perkawinan menurut hukum Islam, jika disimplifikasikan dengan syarat dan dasar
perkawinan, maka mencapai usia baligh harus meliputi kemampuan fisik dan
mental. Secara biologis, calon suami-istri telah mencapai usia baligh karena
ditandai oleh perubahan fisik. Adapun aspek mentalitasnya, masih membutuhkan
pembinaan secara utuh, tidak perlu kondisi mental- psikologis yang labil, dan
masih dipengaruhi oleh faktor kecenderungan praktis dalam kaitan
fisik-biologisnya.
Konsekuensi
logis dari proses konvergensi konsepsional UU Perkawinan Indonesia dengan
pemikiran atau filsafat hukum Islam memungkinkan lahirnya variabel pemikiran
tentang perubahan Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1), termasuk
penetapan usia perkawinan menjadi tepat. Usia perkawinan yang ditetapkan secara
konvergen menjadi bagian dari syarat perkawinan, sehingga tantangan ke depan
dapat tereliminasi. Masalah perbedaan usia perkawinan antara pria dan wanita,
yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria dalam pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan Indonesia berangkat dari asumsi bahwa suami harus selalu lebih
dewasa dan lebih cakap dari istrinya. Hal ini disebabkan oleh karena suami
diposisikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan wanita
ditempatkan sebagai pihak yang subordinatif.
Pembedaan usia perkawinan tersebut semakin membakukan peran dan status
antara suami-istri dalam pola relasi yang tidak seimbang, dan pada akhirnya
mendiskriminasikan wanita. Pembedaan itu sangat erat kaitannya dengan pasal
pembakuan peran yang dituangkan dalam pasal 31 dan 34 UU Perkawinan yang dielaborasi secara rinci dalam pasal-pasal
mengenai tugas dan kewajiban suami-istri. Kesetaraan dari segi usia ideal, secara
lebih tegas dapat dimaknai bahwa usia pria, yaitu 21 tahun harus sama dengan
usia wanita. Masing-masing pasangan suami-istri berada pada usia 21 tahun
dengan pertimbangan bahwa dari aspek psikologis, sosiologis, dan kesehatan,
keduanya seimbang. Hal itu dikemukakan
disebabkan oleh karena dalam kenyataan, banyak rumah tangga yang berakhir
dengan perceraian disebabkan adanya perbedaan mendasar di antara suami-istri.
Dalam
bahasa agama, suami-istri yang demikian disebut tidak sekufu. Misalnya suami berasal
dari keluarga yang ekonominya mapan sementara istri dari keluarga sederhana,
atau istri yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial tinggi sedangkan
suami berasal dari keluarga biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut sering menjadi
sumber perselisihan berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan
ketidakharmonisan keluarga tersebut.
Sakralitas lembaga perkawinan berkaitan erat dengan eksistensi manusia
sebagai makhluk yang paling mulia di antara mahkluk Allah SWT lainnya.
Hubungan-hubungan
antara sesama manusia, khususnya hubungan antara seorang pria dan seorang
wanita dewasa dalam rangka penyaluran hasrat biologisnya diatur sedemikian rupa
sehingga tidak liar. Hubungan antara manusia tentu berbeda dengan hubungan
makhluk Allah SWT lainnya seperti binatang. Hubungan-hubungan antara sesama
binatang itu, termasuk hubungan biologis yang tidak diatur sebagaimana pada
manusia. Berdasarkan pemikiran tersebut,
dapat dipahami bahwa sebagai salah satu syarat untuk mencapai keluarga sakinah
adalah memelihara sakralitas (kemuliaan, kesucian) lembaga perkawinan.
Bagi
yang sudah menjalaninya tentu berusaha senantiasa menciptakan suasana harmonis
dalam kehidupan keluarganya sehingga perkawinan itu tetap lestari. Sedang bagi yang belum dan akan memasuki
dunia perkawinan, maka cara memelihara kesakralan perkawinan itu adalah
memulainya dengan niat yang tulus-ikhlas, memenuhi persyaratan-persyaratannya
serta melaksanakannya sesuai dengan tuntunan dan kaidah agama, sosial dan
budaya yang dianut oleh masyarakat. Berdasarkan cara itu, tampak benar bahwa
lembaga perkawinan betul-betul sakral dan merupakan bagian dari ibadah kepada
Allah SWT.
Disediakannya
lembaga-lembaga perkawinan yang sakral bagi umat manusia, selain untuk
memelihara kemuliaan manusia, juga dimaksudkan agar terwujud generasi atau
keturunan yang jelas. Dari generasi itu akan lahir generasi berikutnya secara
berantai dengan untaian hubungan yang jelas. Pengaturan hukum keluarga,
termasuk hukum perkawinan akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Indikasinya
adalah bahwa keluarga yang sehat akan melahirkan generasi yang berkualiatas,
tidak hanya dari segi lahiriah tapi juga dari segi batiniah. Dalam konteks kecerdasan, batas usia
perkawinan ideal harus diformulasi sebagai sebuah agenda yang berkelanjutan
untuk memperoleh sebuah periode generasi yang benar-benar berkualitas.
Persaingan global yang akan dihadapi, salah satunya adalah menyangkut kualitas
SDM sehingga sudah saatnya memberi peluang pendidikan bagi masyarakat untuk
mengupayakan terbangunnya generasi-generasi berkualitas baik.
Apabila
hal ini dapat diwujudkan, maka konsep masyarakat madani di Indonesia akan
dengan mudah dapat diciptakan. Dalam kaitannya dengan penciptaan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas baik, keluarga sakinah juga memegang peranan
yang sangat penting. Keluarga yang sehat, baik dan sejahtera lahir-batin akan
melahirkan keturunan atau generasi yang sehat dan kuat. Keturunan-keturunan
demikian akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang cerdas dan pada waktunya
nanti akan menjadi SDM yang berkualitas baik, yang tidak hanya bermanfaat bagi
keluarganya, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat luas. Keluarga sakinah
merupakan dambaan setiap suami-istri, dan menjadi esensi dan tujuan perkawinan.
Shihab
(2000: 133) memahami sakinah dengan menerangkan bahwa jika yang muncul dari
gejolak cinta dalam hati yang diliputi oleh ketidakpastian, akan berakhir
dengan sakinah dan ketenteraman hati sebagai sebuah perkawinan. Pemikiran yang
dikemukakan tersebut, merupakan indikasi dan gambaran kehidupan rumah tangga
yang sakinah. Secara normatif Allah SWT
memberikan keterangan dalam konteks yang berbeda. Di dalam al-Quran, kata
“sakinah” diulang sebanyak enam kali (dalam dua surah dan enam ayat), yaitu
antara lain; QS. at-Taubah ayat (25-26), al-Fath ayat (4), (18), (26). Oleh
karena itu, keluarga yang sakinah harus dijadikan tujuan dengan kesiapan mental dan kedewasaan usia karena
akan menentukan stabilitas jiwa dan kematangan psikologis dari pasangan
suami-istri.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan memiliki makna yang mulia dan
sesuai dengan status yang disandang oleh manusia sebagai makhluk yang mulia di
hadapan Sang Maha Pencipta. Ditinjau dari aspek ontologis, dasar keberadaan
perkawinan terletak pada perjanjian atau ikatan batin yang menjalin dua makhluk
yang berbeda jenis; pria dan wanita, dari aspek epistemologis, perkawinan
merupakan khazanah peradaban manusia yang pertumbuhan atau perkembangannya
secara langsung atau tidak langsung dilandasi oleh ilmu pengetahuan, dan dari
aspek aksiologis, perkawinan dipahami sebagai salah satu nilai kehidupan yang
bersifat mendasar sehingga perkawinan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai
yang berdimensi agama, etika, dan estetika.
Nilai religius perkawinan bersumber dari
agama yang menetapkan perkawinan sebagai bibit pertama dan cikal bakal
kehidupan masyarakat, dan aturan yang bersifat alami bagi alam semesta yang
diciptakan Tuhan dalam rangka menjadikan kehidupan semakin bernilai dan mulia.
DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo,
Soedjono, 1984, Filsafat Hukum dalam Konsepsi dan Analisa, Alumni, Bandung
Departemen
Agama Republik Indonesia, 2005, al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Syamil Cipta
Media, Jakarta.
Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama, 1995/1996, “Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia”, dalam Tim Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Departemen
Agama RI, Jakarta.
Djamil,
Fathurrahman, 1999, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta .
Dyah,
Indriaswati, 2000, “Laporan Hasil Penelitian” dalam LBH-APIK, Sejarah UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender dalam Perspektif
Wanita, LBH-APIK, Jakarta.
Effendi,
Bachtiar, 1995, “Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik
Islam di Indonesia”, dalam Prisma, No.5 Th XXIV Mei 1995, Jakarta.
Faiz,
Fahruddin, 2002, Hermeneutika Qur’ani, Penerbit Qalam, Yogyakarta.
Friedman,
Lawrence M., 1969, The Legal System: A Sosical Science Perspective, Russel Soge
Foundation, New York .
Friedmann,
W., 1990, Teori & Filsafat Hukum (Susunan I), Diterjemahkan oleh; Mohammad
Arifin, Rajawali, Jakarta.
Suriasumantri,
Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta .
Tasrif,
S., 1986, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta.
Abdurrahman,
1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta.
Alam,
Andi Sjamsu, 2006, Usia Ideal untuk Kawin, Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga
Sakinah, Kencana Mas Publishing House, Jakarta .
Anshari,
Endang Saifuddin, 1979, Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya.
Asy’ari,
Musa, 1999, Filsafat Islam, LESFI, Yogyakarta
.
Bagus,
Lorens, 1996, Kamus Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta .
Bertens,
Kees, 2005, Panorama Filsafat Modern, Teraju, Jakarta .
Dahlan,
M. Shodiq, 1989, “Hukum dan Keadilan”
dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, (ed.), Lili Rasjidi, dan Arief
Sidharta, B., ed., Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remaja Karya, Bandung
.
0 Response to "Usia Perkawinan dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Hukum Perkawinan"
Post a Comment