Usia Perkawinan dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Hukum Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pengaturan perkawinan merupakan bagian dari cita-cita penegakan hukum yang mengandung maksud menciptakan kondisi kehidupan yang damai, tenteram, dan berkeadilan. Keluhuran cita-cita hukum itu termanifestasi dalam bentuk pemahaman yang menegaskan bahwa perkawinan adalah  fitrah manusia.
Menurut Madjid (2000; 27) pengingkaran terhadap pengaturan perkawinan sama artinya dengan mengingkari hukum alam raya yang telah diciptakan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta. Fenomena keretakan rumah tangga atau lebih khusus gagalnya perkawinan yang penyebabnya sangat bervariasi, seperti pernikahan dini, perkawinan paksa, dan perselingkuhan secara nyata telah mendistorsi perkawinan ke dalam bentuk pengamalan agama secara artifisial-duniawi; perkawinan dimaknai sekedar sebagai “lembaga penyalur” hasrat biologis manusia

Mengapa banyak perkawinan atau kehidupan rumah tangga di Indonesia berlangsung di bawah mentalitas yang salah (error of mentality) seperti itu? Jawabnya tidak lain karena perkawinan tidak lagi dibangun di atas sikap yang penuh tanggungjawab. Sikap bertanggungjawab terkait erat dengan taraf kedewasaan dalam perkembangan kehidupan manusia.
Dalam perspektif ilmu hukum, taraf kedewasaan itu dimaknai sebagai parameter yang dapat menyatakan bahwa seseorang telah cakap hukum atau mampu melakukan perbuatan hukum. Undang- undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia menunjukkan parameter kedewasaan adalah ketika seseorang telah dipandang mampu untuk kawin/menikah dengan alasan bahwa perkawinan merupakan wadah bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk memikul tanggungjawab.  
Oleh karena itu perlu dirumuskan ketentuan usia perkawinan ideal yang didukung oleh selain bukti-bukti ilmiah, juga oleh argumentasi logis sehingga pada gilirannya dapat berfungsi sebagai indikator kedewasaan. Penentuan kedewasaan usia perkawinan tersebut semakin penting artinya tatkala diingat bahwa ketika para pakar Hukum Islam, bahkan para ilmuwan lain menentukan batas kedewasaan secara variatif, pada saat yang sama, masyarakat terutama masyarakat desa menghendaki untuk mengawinkan anaknya dalam usia yang masih di bawah umur. Beberapa ulama mendukung hal itu, dengan alasan bahwa jika seseorang sudah mengalami proses baligh maka orang itu sudah dipandang cakap untuk melakukan perbuatan hukum, tanpa perlu memperhitungkan masalah pendidikan, masalah kemampuan mencari nafkah, faktor pengaruh pada keturunan, dan lain-lain. Penentuan kedewasaan secara variatif terjadi disebabkan karena terdapat perbedaan sudut pandang hukum terhadap problema masyarakat dalam semua tingkatan sosial. Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kategori anak-anak adalah orang yang masih di bawah usia 18 tahun, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dirumuskan kategori dewasa berumur 18 tahun, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dinyatakan syarat dewasa berumur 18 tahun (atau sudah/pernah menikah). Berdasarkan hal tersebut, sudah saatnya kini dilakukan kajian kritis terhadap persoalan penafsiran isi hukum, termasuk menyangkut ketentuan usia perkawinan dari perspektif filsafat hukum. Tujuannya adalah menafsirkan kembali makna kedewasaan sehingga dapat dirumuskan sebuah konstruksi konseptual ideal mengenai usia perkawinan yang dapat berkontribusi positif bagi pengembangan Hukum Perkawinan Indonesia.
  
B.  Rumasan Masalah 
Masalah-masalah penelitian yang dirumuskan adalah sebagai berikut;
1.    Apa landasan filosofis perkawinan?
2.    Bagaimana fungsi filsafat hukum dalam konteks perkembangan hukum dan masyarakat?
3. Bagaimana analisis filsafat hukum terhadap eksistensi ketentuan usia perkawinan dalam Hukum Perkawinan Indonesia?
4. Apa makna usia perkawinan menurut idealisasi filsafat hukum dan kontribusinya bagi pengembangan Hukum Perkawinan Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Landasan Perkawinan
Landasan Filosofis Perkawinan, Lembaga perkawinan merupakan salah satu bentuk nyata yang dihasilkan dari penataan dan sistematisasi organisasi hidup manusia dalam negara. Hal itu terjadi dalam bentuk persekutuan hidup bersama antara suami dan istri melalui perkawinan. Manusia, melalui lembaga perkawinan menyusun struktur hidupnya dalam suatu organisasi rumah tangga yang kemudian disebut dengan keluarga.
Keluarga kemudian menjadi elemen penting bagi terbangunnya sebuah komunitas manusia yang setiap elemen dalam komunitas itu berkomitmen untuk menaati norma-norma hasil kesepakatan bersama untuk secara bersama pula mencapai tujuan hidup komunitas.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa perkawinan bagi manusia adalah suatu keniscayaan. Dalam konteks teologis, perkawinan adalah sunnah atau ketentuan Tuhan, sebagaimana Nabi Adam a.s. diberi tempat oleh Allah SWT di surga dan baginya diciptakan Hawa untuk mendampingi, menjadi teman hidup, menghilangkan rasa kesepian, dan melengkapi fitrahnya untuk menghasilkan keturunan.
Sebagai perbuatan manusia dewasa, perkawinan merupakan peristiwa yang dapat berlangsung setelah melalui pertimbangan baik rasional maupun emosional atau mental. Selain dipikirkan dan diterima oleh akal sehat, semua persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami arti perkawinan.
Dalam tahap persiapan perkawinan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan perlu dijalani.  Dengan pertimbangan rasional dan emosional, perkawinan manusia dewasa akan semakin mantap, bahagia, dan langgeng ketika pasangan saling mengasihi dan saling menghargai. Cinta kasih harus diwujudkan dalam tingkah laku sehari- hari. Bentuk cinta kasih yang paling sederhana adalah memberik[1]an ucapan terima kasih dan menyatakan permohonan maaf kepada pasangan. Terima kasih atas perhatian dan kasih sayang yang diberikan serta mohon maaf atas kesalahan yang dilakukan terhadapnya.
Perbuatan kawin hanya pantas dilakukan oleh manusia dewasa, dalam pengertian manusia dewasa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Setiap pasangan suami-istri yang dewasa memiliki level perkembangan psikologis yang lebih matang dibandingkan dengan pasangan yang melaksanakan perkawinan sebelum dewasa. Konsekuensinya, perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang belum mencapai taraf dewasa sulit berpikir dan bertindak secara bertanggungjawab.
Keluarga sebagai basis inti masyarakat, adalah wahana yang paling tepat untuk memberdayakan manusia dan membendung berbagai faktor yang mendorong lahirnya berbagai bentuk frustrasi sosial. Pengertian ini bersifat aksiomatis dan universal dalam pengertian bahwa masyarakat mana saja memerlukan wahana pemberdayaan itu. Di Eropa misalnya, saat ini para sosiolog merasa gelisah karena prediksi kepunahan bangsa. Betapa tidak, tatanan, sakralitas dan antusiasme terhadap keluarga sudah tipis sekali di kalangan muda. Hal itu tentu saja berdampak buruk terhadap angka pertumbuhan penduduk. Berbagai penyakit sosialpun muncul. Mulai dari angka bunuh diri yang tinggi hingga anomali kemanusiaan yang lain.
Dalam pembentukan keluarga, perkawinan mempunyai tujuan untuk mewujudkan ikatan dan persatuan. Adanya ikatan keturunan, diharapkan mempererat tali persaudaraan anggota masyarakat dan antar-bangsa. Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam berkeluarga juga akan tampak dalam pengertian bahwa perkawinan merupakan sarana untuk mendapatkan keberkahan, karena apabila dibandingkan antara kehidupan bujangan dengan kehidupan orang yang telah berkeluarga, maka terlihat bahwa yang telah berkeluarga lebih hemat dan ekonomis dibandingkan dengan yang bujangan. Selain itu orang yang telah berkeluarga lebih giat dalam mencari nafkah karena perasaan bertanggungjawab pada keluarga lebih besar daripada para bujangan.
Secara ontologis, perkawinan dapat dipahami dan diketahui keberadaannya dari perjanjian atau ikatan batin yang menjalin dua makhluk yang berbeda jenis; pria dan wanita. Suatu ikatan batin merupakan hubungan yang telah terjadi atau sesuatu yang tidak tampak, namun harus ada. Ikatan batin tersebut hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, ikatan batin merupakan dasar fundamental dalam membentuk dan membina keluarga atau rumah tangga. Ikatan batinlah yang menjadi petunjuk otentik bagi adanya perkawinan. Lebih jauh, perjanjian atau ikatan batin itu merupakan manifestasi dari nilai kemanusiaan yang bersifat agung dan mulia sehingga membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain.
Hubungan antar-jenis makhluk manusia berjalan di atas aturan yang sesuai dengan naluri kemanusiaan dan hal itu justru untuk menjaga kemuliaan dan kehormatan manusia. Hubungan antar-jenis dari kalangan manusia adalah hubungan yang agung, yang dibangun atas dasar kerelaan. Hukum Perkawinan kemudian ditetapkan untuk mengatur hubungan itu. Berdasarkan pada hukum itu pula, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa perkawinan adalah bentuk terbaik untuk menyalurkan naluri antara pria dan wanita.
Identitas eksistensial atau keberadaan manusia berkembang melalui Hukum Perkawinan; pria menjadi suami, sedangkan wanita menjadi istri. Lebih lanjut, dengan Hukum Perkawinan, manusia menyalurkan nalurinya dalam melahirkan keturunan yang akan menjamin keberlangsungan eksistensial manusia di dunia ini. Pada saat yang sama atau ketika keturunan dilahirkan, identitas pria sebagai suami berubah menjadi seorang ayah dan wanita sebagai istri menjadi seorang ibu. Secara epistemologis, perkawinan merupakan khazanah peradaban manusia yang pertumbuhan atau perkembangannya secara langsung atau tidak langsung dilandasi oleh ilmu. Pelaksanaan perkawinan akan sulit dilakukan seandainya ilmu atau pengetahuan tentang perkawinan tidak ada. Tugas ilmu perkawinan adalah menjawab masalah-masalah sekitar perkawinan sehingga manusia dapat memperoleh kebenaran tentangnya. 
Dasar epistemologis perkawinan dapat dengan mudah dipahami melalui kajian nilai-nilai epistemik yang terkandung dalam pengertian perkawinan Islam yang menggariskan bahwa perkawinan merupakan salah satu dari sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Arti sunnah sendiri adalah laporan mengenai masa lalu, khususnya laporan seputar perkataan, perbuatan dan persetujuan diam yang ditunjuk (taqrir) oleh Nabi Muhammad SAW. 
Laporan perkawinan dalam bentuk sunnah pada hakikatnya merupakan gambaran mengenai bagaimana keputusan dan cara pelaksanaan perkawinan Nabi Muhammad SAW di masa lampau yang telah terjadi. Kriteria yang diterapkan untuk menguji kebenaran laporan zaman silam itu adalah seperti kriteria untuk menguji kesaksian para saksi di lembaga peradilan. Perkawinan dari aspek aksiologis adalah salah satu nilai kehidupan yang bersifat mendasar. Oleh karena itu, untuk membicarakan aspek aksiologis perkawinan, hal itu tidak dapat dilepaskan dari dimensi agama, etika, dan estetika yang disandang oleh sebuah perkawinan.  Dalam pandangan agama, perkawinan secara tegas dipahami sebagai berkah yang diberikan Tuhan kepada manusia, terutama melalui jalan yang benar, manusia dapat memenuhi hajat hidupnya yang paling fundamental, yaitu sebagai makhluk yang bernaluri biologis.
Perkawinan tidak hanya tempat memuaskan nafsu seksual atau birahi, melainkan secara etis merupakan hubungan kemanusiaan, hubungan saling membangun untuk sebuah kehidupan yang damai dan sejahtera lahir-batin, serta hubungan untuk melahirkan generasi manusia yang sehat, cerdas, dan berkeadaban dalam kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan. 
Perkawinan tidak saja suci namun juga indah. Sejak Tuhan menghendaki persatuan antara pria dan wanita yang diwujudkan secara mendalam di dalam perkawinan, maka pada saat itu manusia terikat pada sebuah perjanjian untuk saling setia. Secara filosofis, keindahan perkawinan terletak pada kesetiaan ini. Nilai religius perkawinan bersumber dari agama yang memandang perkawinan sebagai bibit pertama dan cikal bakal kehidupan masyarakat, dan aturan yang bersifat alami bagi alam semesta yang diciptakan Tuhan dalam rangka menjadikan kehidupan semakin bernilai dan mulia.
Pada hakikatnya perkawinan merupakan hubungan batin, wujud cinta yang penuh kejujuran dan kerjasama serta kehidupan yang penuh dengan ruh kebersamaan dan kasih sayang untuk membentuk keluarga yang baik, sekaligus memakmurkan alam semesta. Dalam lalu lintas Hukum Perdata, keabsahan perkawinan menentukan sejak kapan timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami-istri) dan hubungan hukum dengan pihak ketiga serta kapan harta bersama dianggap mulai ada yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hubungan perikatan yang diadakan oleh pasangan suami-istri.
Ketentuan tersebut merupakan suatu hal yang logis diupayakan untuk menegakkan keadilan dalam hubungan suami-istri. Perkawinan tidaklah semata- mata sebagai tempat memuaskan nafsu seksual atau birahi, melainkan lebih dari itu merupakan hubungan kemanusiaan, hubungan saling membangun untuk sebuah kehidupan yang adil sehingga melahirkan generasi manusia yang sehat, cerdas, dan berkeadilan. Kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu mashlahah, dalam hal ini keadilan, menunjukkan segi formal dan tekstual dari ketentuan Hukum Perkawinan tidak harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang mengesahkan perkawinan, bagaimanapun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama. 
Pada saat yang sama, patokan legal-formal dan tekstual suatu aturan perkawinan hanya merupakan cara bagaimana mashlahah keadilan itu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Hal ini berarti ketentuan formal-tekstual yang datang dari manapun sumbernya harus selalu terbuka dan atau diyakini terbuka untuk diubah atau diperbaharui sesuai dengan tuntutan mashlahah, yaitu cita-cita keadilan.

B.  Fungsi Filsafat Hukum Dalam Konteks Perkembangan Hukum Dan  Masyarakat.
Filsafat dapat dipahami sebagai kegiatan intelektual yang bersifat metodis dan sistematis. Makna hakiki dari keseluruhan yang-ada dan gejala-gejala yang termasuk dalam keseluruhan yang-ada itu dapat diungkapkan melalui cara perenungan filosofis (reflektif).  Di antara gejala-gejala yang ditemui manusia dalam hidupnya terdapat hukum. Apabila hukum menjadi objek filsafat, maka hal yang dicari dalam filsafat hukum adalah makna hukum, sebagaimana tampak dalam hidup manusia. Menurut Apeldoorn (1985: 439), filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan; apakah hukum itu? Filsafat hukum menghendaki agar manusia berpikir masak-masak tentang tanggapannya sendiri dan bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya yang ditanggapi oleh hukum itu.
Mengenai batas antara ilmu pengetahuan hukum dengan filsafat hukum dikatakan, bahwa di mana ilmu pengetahuan hukum berakhir, di sanalah filsafat hukum mulai. Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan hukum.  Fungsi filsafat hukum dapat dikatakan untuk menguji keefektifan hukum positif. Hal ini sesuai dengan adanya tuntutan atas setiap hukum yang berlaku, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu berubah dalam setiap waktu dan tempat. Pengertian tersebut sesuai dengan penegasan Pound, sebagaimana dikutip oleh Najmi (1989: 22) yang menyatakan bahwa fungsi filsafat hukum adalah untuk mengukur kaidah-kaidah, doktrin-doktrin dan lembaga-lembaga sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, fungsi filsafat hukum adalah untuk mengarahkan atau memimpin penerapan hukum dengan menunjukkan tujuan hukum.  Huijbers (1982: 19) mengungkapkan bahwa awal pertumbuhan pemikiran tentang hukum secara filsafati, pada mulanya muncul dari negeri Yunani, yaitu mulai dari pemikiran Hemer sampai kaum Stoa.
Pemikiran itu dilatarbelakangi oleh adanya dua unsur yang terpadu, yaitu; kondisi polis dan bakat merenung bangsa Yunani. Pada zaman Yunani Kuno, hukum dipandang sebagai sesuatu yang meliputi alam semesta. Belum dibedakan antara hukum alam dan hukum positif. Kedua- duanya dianggap sabagai bagian dari aturan Ilahi.
Orang yang memberontak, yakni melewati batas aturan, akan mendapat balas dendam karena kesombongan (hubris) (Friedmann, 1990: 17). Dalam Abad Pertengahan, aturan alam tetap dianggap sebagai norma bagi kehidupan orang, tetapi motifnya berubah. Alam tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang suci, sehingga alasan dari dulu untuk tunduk kepadanya telah hilang. Namun menurut ajaran agama yang bertambah kuat dalam zaman itu, alam merupakan ciptaan Allah dan karenanya manusia tunduk kepada kehendak Allah.
  Augustinus (354 - 430 M) adalah pemikir Kristiani yang paling besar pada awal Abad Pertengahan. Menurut pandangannya, kebenaran tidak ditemukan pertama-tama dalam pikiran akal-budi teoritis, sebagaimana diajarkan oleh filsuf- filsuf. Melalui budi-Nya, Allah menciptakan segala-galanya, lalu Allah menjaganya oleh sebab dalam Allah terletak suatu rencana tentang berjalannya semesta alam.  Pemikir besar yang kedua dalam Abad Pertengahan adalah Thomas Aquinas (1225-1275 M), seorang rohaniwan gereja Katholik yang lahir di Italia, lalu belajar di Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus. Dalam membahas arti hukum, Aquinas mulai membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal-budi manusia sendiri. 
Hukum yang didapati dari wahyu disebut “hukum Ilahi positif” (Ius Divinum Positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama terdapat hukum alam (Ius Naturale), kemudian juga hukum bangsa-bangsa (Ius Gentium), akhirnya hukum positif manusia (Ius Positivum Humanum) (Huijbers, 1982: 24-25). Pada zaman modern, muncullah pandangan bahwa manusia, karena keunggulannya sebagai pribadi harus diakui sebagai penegak hukum. Selaras dengan pandangan ini, alam tidak berfungsi lagi sebagai norma utama dalam pembentukan peraturan-peraturan. Norma utama adalah akal budi manusia. Dalam akal budinya, manusia secara rasional mengenal prinsip-prinsip yang mengatur kehidupannya.
 Rahardjo (1986: 224-225) menyatakan filsafat hukum bukan dan tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu hukum, tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Berdasarkan pendapat Rahardjo tersebut, teori hukum dapat dipahami sebagai teori yang tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang lainnya. Teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah, manusia mengonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.  Meskipun tidak merupakan bagian dari cabang ilmu hukum, namun filsafat hukum berhubungan secara erat dengan ilmu hukum.
Dalam hubungan itu, filsafat hukum dapat membantu ilmu hukum dalam menangkap hakikat hukum yang merupakan tugas filsafat hukum. Oleh karena itu, terkait dengan hakikat hukum, hubungan antara filsafat hukum dengan ilmu hukum terwujud dalam pengertian ilmu hukum dilandaskan pada tiga pilar atau landasan keilmuan hukum, yaitu; landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Penemuan hukum pada hakikatnya mewujudkan pengembangan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematis yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik- konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum.  Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan- pertanyaan tentang hukum dan pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa kongkrit.
Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum. Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itu disebut penemuan hukum atau rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu; 1) senantiasa mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang kongkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup di dalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri; dan 2) senantiasa mampu memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.
 Makna penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Makna ini sangat penting artinya tatkala diperhatikan bahwa sejak memasuki abad XX, terdapat banyak undang-undang yang tidak lengkap namun diberlakukan, dalam pengertian bahwa nilai-nilai yang dituangkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.  Pengembangan ilmu hukum berintikan kegiatan menginterpretasi teks yuridis untuk mengungkapkan kaidah hukum yang (secara implisit) terdapat pada teks yuridis tersebut dan dengan itu menetapkan makna dan wilayah penerapannya. Antara ilmuwan hukum (interpretator) dan teks yuridis itu terdapat jarak waktu. Teks yuridis adalah produk pembentuk hukum untuk menetapkan perilaku apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan orang yang berada dalam situasi tertentu karena hal itu oleh pembentuk hukum dipandang merupakan tuntutan ketertiban yang berkeadilan.  Ditunjukkan oleh Najmi (1989: 28), hukum sebagai tool of social engineering sebetulnya pertama kali diperkenalkan oleh Roscoe Pound yang berpandangan bahwa hukum muncul sebagai alat untuk menciptakan perubahan. Perubahan oleh hukum dapat didahului oleh penemuan teknologi, kontrak, konflik kebudayaan, gerakan-gerakan sosial, fungsi perubahan fisik, biologis serta kependudukan. Setelah itu hukum hadir untuk menyelesaikan persoalan yang timbul akibat adanya perubahan tersebut.
Menurut Pound, sebagaimana ditunjukkan oleh Friedmann (1953: 350-351), fungsi social engineering dari hukum maupun putusan hakim ditentukan dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan antara stabilitas hukum dan kepastian terhadap perkembangan hukum sebagai alat evolusi sosial. Selain itu, kebebasan pengadilan yang merupakan hal esensial dalam masyarakat demokratis dapat ditentukan lebih lanjut jika pengadilan bertindak sebagai penerjemah- penerjemah yang tertinggi dari konstitusi. Di Indonesia, konsep Pound dikembangkan oleh Kusumaatmadja yang menegaskan bahwa hukum di Indonesia tidak cukup berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Kusumaatmadja (1970: 1-13) dimaksudkan untuk tujuan praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial-ekonomi. Kusumaatmadja juga melihat urgensi penggunaan pendekatan sosiologis dengan mengambil model berpikir Pound yang lebih dirasakan oleh negara-negara berkembang daripada negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme hukum di negara-negara berkembang belum semapan di negara-negara maju. Menurut Magnis-Suseno (1988: 81) sifat hakiki hukum, di samping menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaannya, juga mengupayakan tegaknya keadilan. Keadilan itupun mempunyai dua arti. Dalam arti formil keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Dalam arti material dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam arti material; isi hukum harus adil. Dengan maksud untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil termasuk hakikat hukum sendiri. Suatu hukum yang tidak mau adil itu bukanlah hukum.
Hal yang diperlukan dan diakui masyarakat bukan sembarang tatanan normatif, melainkan suatu tatanan yang menunjang kehidupan bersama berdasarkan penilaian baik dan wajar. Oleh karena itu, arah pelaksanaan keadilan adalah konstitutif, atau merupakan prasyarat hakiki bagi hukum.

C.  Analisis Filsafat Hukum Terhadap Eksistensi Ketentuan Usia Perkawinan     
Dalam Hukum Perkawinan Indonesia Pada saat negara secara formal belum terbentuk atau pada masa kerajaan- kerajaan otonom tersebar luas di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, di Indonesia berlaku berbagai macam Hukum Adat dengan sistem sosial-politik yang besar dan beragam. Di Jawa misalnya, berlaku Hukum Adat yang bersumber dari tujuh suku (etnik) secara berbeda-beda. Pemberlakuan ketujuh macam Hukum Adat di Jawa didasarkan pada sebuah sistem sosial-politik Jawa, misalnya bercorak Hindu sehingga muncul hirarki dalam masyarakat (Jaspan, 1991: 3).
 Di samping itu, sistem hukum pada masa otonomi kerajaan-kerajaan tersebut, dalam sejumlah kasus ditentukan oleh sistem kekerabatan yang ada, misalnya sistem kekerabatan matrilineal untuk daerah Minangkabau, patrilineal untuk Batak, dan parental atau bilateral untuk Jawa.
Ketika Islam masuk ke Indonesia dan menyebar hampir ke seluruh kepulauan di Indonesia pada abad XIII, berbagai daerah menjadi kerajaan Islam, yang berimplikasi pada diterimanya Hukum Islam sebagai salah satu hukum yang berlaku. Pada masa itu masyarakat di kepulauan Nusantara berusaha menggabungkan antara Hukum Adat dan Hukum Islam.  Setelah kemerdekaan berhasil diraih oleh bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, upaya unifikasi sistem hukum dimulai. Upaya ini sulit diwujudkan karena di samping realitas budaya beragam dan kepentingan bermacam-macam, juga karena kerangka hukum sangat heterogen, baik Hukum Adat, maupun Hukum Islam.  Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan di bidang Hukum Perkawinan, dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Nikah, Talak, Rujuk (disingkat dengan NTR). Panitia NTR ini, dengan mengevaluasi pengaturan perkawinan yang berlaku (warisan pemerintah kolonial Belanda), membuat dua macam Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan, yaitu; 1) RUU Perkawinan yang bersifat umum; dan 2) RUU Perkawinan yang bersifat khusus untuk masing-masing agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, dan Buddha). Walaupun dipenuhi dengan kritik, terutama dari kelompok wanita, pada akhirnya Undang-undang Republik Indonesia No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara resmi disahkan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur tentang perkawinan bagi bangsa Indonesia.
Selain itu, walaupun juga telah terbentuk suatu unifikasi hukum tentang perkawinan, namun pada prakteknya, terutama yang terjadi di PA, pendapat masing-masing hakim sesuai dengan kitab fiqh yang dirujukinya. Akibat tidak adanya standar baku yang berlaku di PA, keputusan yang diambil oleh para hakim seringkali berbeda untuk kasus yang sama, sehingga dapat dikatakan subjektifitas hakim sangat tinggi.
Bahkan hakim dapat mempergunakan keputusan hukum yang diambil sebagai alat politik untuk menyerang pihak lain (Basri, 1992: 21). Ditinjau dari sudut pandang teori hukum, hal ini berarti bahwa produk-produk PA bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (Sadzali, 1999: 2).  Berdasarkan alasan-alasan itulah, Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, pada tahun 1985 mengusulkan agar dirumuskan suatu Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dimaksud sebagai buku standar bagi para hakim di PA. Usulan ini pada mulanya tidak mendapat respon. Namun ketika Menteri Agama, Munawir Sadzali mengusulkan hal yang sama, mulailah masyarakat meresponnya.  Dalam konteks positivisme hukum, ketentuan usia perkawinan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengidap persoalan yang tentu tidak mudah diselesaikan. Indikasi problematis usia perkawinan yang paling menonjol, adalah sebagaimana telah dipaparkan di atas, muncul ketika dihadapkan pada pasal 7 ayat (2) tentang dispensasi kawin yang wewenang yuridis untuk keperluan itu diberikan kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita sehingga dinilai mengurangi sakralitas perkawinan.  
Mempertimbangkan realitas masyarakat Indonesia yang hidup dengan watak yang religius, maka untuk tetap menjaga sakralitas perkawinan, pertimbangan- pertimbangan hukum yang berasal dari ajaran agama patut digunakan dalam memberlakukan ketentuan usia perkawinan itu. Pemikiran yang mendasari pertimbangan ini adalah teori hukum yang dirumuskan oleh aliran Sosiological Jurisprudence yang memberikan perhatian sama pentingnya kepada faktor-faktor penciptaan dan pemberlakuan hukum, yaitu masyarakat dan hukum.  Perkawinan adalah suatu peristiwa hukum dan sebagai peristiwa hukum maka subjek hukum yang melakukan peristiwa tersebut harus memenuhi syarat. Salah satu syarat manusia sebagai subjek hukum untuk dapat dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah harus sudah dewasa. Mengingat hukum yang mengatur tentang perkawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka ketentuan dalam UU Perkawinan harus ditaati oleh semua golongan masyarakat yang ada di Indonesia.  Salah satu prinsip yang dianut UU Perkawinan Indonesia itu adalah bahwa calon suami-istri harus telah matang dari segi kejiwaan dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan. Maksudnya tidak lain kecuali dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan memperoleh keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur. 
Tidak satupun ayat al-Quran secara jelas dan terarah menyebutkan ketentuan usia perkawinan dan tidak pula ada hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan hal itu, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat berumur baru enam tahun dan menggaulinya setelah berumur sembilan tahun (Syarifuddin, 2009: 66). Dasar pemikiran dari tidak adanya ketentuan usia pasangan yang akan melangsungkan perkawinan tersebut sesuai dengan pandangan umat ketika itu terhadap hakikat perkawinan. Perkawinan tidak dipandang dari segi hubungan kelamin, tetapi dari segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan mushaharah. Nabi Muhammad SAW mengawini Aisyah, anak dari Abu Bakar ra. dalam usia enam tahun di antaranya ditujukan untuk kebebasan Abu Bakar ra. memasuki rumah tangga Nabi karena di dalamnya terdapat anaknya sendiri.
 Namun saat ini, perkawinan lebih ditekankan pada tujuan hubungan kelamin, dan oleh karena itu, tidak adanya ketentuan, secara khusus batas umur, sebagaimana berlaku dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak relevan lagi. Meskipun ketentuan usia secara eksplisit tidak disebutkan dalam al-Quran atau hadits Nabi Muhammad SAW, namun perkawinan sebagai peristiwa hukum, dalam pandangan hukum Islam berdampak pada timbulnya hak dan kewajiban suami-istri. Adanya hak dan kewajiban itu, perkawinan mengandung arti melibatkan orang-orang yang sudah cukup dewasa.
Selain itu, dari adanya persetujuan atau izin sebagai syarat perkawinan juga diperoleh pengertian bahwa perkawinan berlangsung atas persetujuan orang yang sudah dewasa. Kondisi keluarga yang bahagia merupakan keluarga ideal yang dicita- citakan dan didambakan oleh setiap pasangan suami-istri. Keluarga yang bahagia atau keluarga yang ideal adalah keluarga yang seluruh anggotanya merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekacauan dan merasa puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.

D.  Idealisasi Usia Perkawinan dan Maknanya dalam Pengembangan Hukum     
Suatu perkawinan, secara ideal dilakukan oleh pasangan pria-wanita yang telah memiliki kematangan, baik dari segi biologis maupun psikologis. Kematangan biologis adalah apabila seseorang telah memiliki kematangan baik dari segi usia, maupun dari segi fisik. Sedangkan kematangan psikologis adalah bila seseorang telah dapat mengendalikan emosinya dan dapat berpikir secara baik, serta dapat menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan subjektif- objektifnya.
Menurut perspektif ilmu psikologi, seorang individu dinyatakan dewasa jika telah lepas atau melewati masa remaja. Adapun masa remaja adalah tahap usia yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir dan ditandai oleh pertumbuhan fisik secara cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi pada tubuh remaja luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadiannya (Daradjat, 1995: 8). Hal inilah yang membawa para pakar pendidikan dan psikologi condong untuk menamakan tahap-tahap peralihan tersebut dalam kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap peralihan dari kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki masa dewasa. Dari perspektif sosiologis, usia remaja dapat diartikan sebagai masa berintegrasinya seseorang dengan masyarakat dewasa. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa yang kenyataannya merupakan ciri khas umum periode perkembangan. Perkawinan sebagai sebuah institusi, dipandang dari perspektif sosiologis adalah lembaga keluarga yang tidak hanya menjamin kelangsungan hidup manusia tetapi juga menjamin stabilitas sosial dan eksistensi yang bermartabat bagi pria dan wanita dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, lembaga perkawinan yang dibangun oleh pasangan yang secara psikologis belum memiliki kematangan, dapat menimbulkan disharmoni dalam masyarakat, seperti dapat dilihat pada fenomena anak terlantar.  Dalam perkembangan berlakunya ketentuan Undang-undang No.1 tahun 1974, terutama terkait dengan pasal 7 ayat (1), angka perceraian relatif tinggi yang disebabkan oleh faktor kesehatan. Salah satu problem kesehatan yang menyebabkan perceraian itu terkait dengan kesehatan reproduksi wanita yang pada gilirannya mengakibatkan pasangan tidak mampu memiliki keturunan.
Jika pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menentukan usia perkawinan wanita pada usia 16 tahun, maka peringatan para ahli kesehatan patut dijadikan bahan pertimbangan untuk merenungkan resiko yang akan terjadi bagi wanita. Beberapa ahli kesehatan menyatakan bahwa perkawinan dari pasangan usia muda bagi wanita, terutama di bawah usia 17 tahun beresiko kena kanker serviks.  Perkawinan pada usia matang, oleh beberapa ahli justru menunjukkan manfaat atau dampak kesehatan yang positif bagi pria.
 Penelitian mengenai hubungan antara perkawinan dan kesehatan pria itu sudah dilakukan sejak awal tahun 1858 oleh William Farr, ahli epidemiologi Inggris, sebagaimana ditunjukkan oleh Morabia (2004: 112) bahwa kadar hormon stres kortisol pria berkurang sehingga mengurangi kemungkinan terkena penyakit kronis dan membuat pria hidup sehat lebih lama.  Seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat.  Usia 21 tahun merupakan usia ideal yang signifikan dalam membangun atau menciptakan sebuah perkawinan ideal. Meskipun usia 21 tahun itu tidak disebutkan secara eksplisit, namun dalam keterangan yang sifatnya lebih praktis dari Shihab (2000: 212), ditunjukkan bahwa perkawinan ideal itu terbangun dari pasangan yang berusia matang atau dewasa. 
Perkawinan ideal merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic demand) sekaligus tujuan bagi setiap pasangan sebagai manusia normal. Tanpa kebutuhan dan tujuan itu, kehidupan perkawinan pasangan menjadi tidak sempurna. Lebih dari itu, menyalahi fitrahnya. Usia perkawinan dalam pemikiran hukum Islam hanya dipersyaratkan telah mencapai baligh antara kedua calon suami-istri. Syarat ini inheren dengan syarat-syarat perkawinan.
Di samping itu, terdapat rukun perkawinan seperti yang dijelaskan Ramulyo (1996: 72), juga oleh Dahlan (1996: 1331).  Didasari oleh filsafat hukum Islam, ushul ul-fiqh menegaskan bahwa salah satu syarat sah perkawinan adalah telah mencapai usia baligh sehingga secara tegas harus memenuhi ketentuan hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu; “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Usia perkawinan menurut hukum Islam, jika disimplifikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka mencapai usia baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Secara biologis, calon suami-istri telah mencapai usia baligh karena ditandai oleh perubahan fisik. Adapun aspek mentalitasnya, masih membutuhkan pembinaan secara utuh, tidak perlu kondisi mental- psikologis yang labil, dan masih dipengaruhi oleh faktor kecenderungan praktis dalam kaitan fisik-biologisnya.
Konsekuensi logis dari proses konvergensi konsepsional UU Perkawinan Indonesia dengan pemikiran atau filsafat hukum Islam memungkinkan lahirnya variabel pemikiran tentang perubahan Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1), termasuk penetapan usia perkawinan menjadi tepat. Usia perkawinan yang ditetapkan secara konvergen menjadi bagian dari syarat perkawinan, sehingga tantangan ke depan dapat tereliminasi. Masalah perbedaan usia perkawinan antara pria dan wanita, yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria dalam pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan Indonesia berangkat dari asumsi bahwa suami harus selalu lebih dewasa dan lebih cakap dari istrinya. Hal ini disebabkan oleh karena suami diposisikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan wanita ditempatkan sebagai pihak yang subordinatif.  Pembedaan usia perkawinan tersebut semakin membakukan peran dan status antara suami-istri dalam pola relasi yang tidak seimbang, dan pada akhirnya mendiskriminasikan wanita. Pembedaan itu sangat erat kaitannya dengan pasal pembakuan peran yang dituangkan dalam pasal 31 dan 34 UU Perkawinan yang  dielaborasi secara rinci dalam pasal-pasal mengenai tugas dan kewajiban suami-istri. Kesetaraan dari segi usia ideal, secara lebih tegas dapat dimaknai bahwa usia pria, yaitu 21 tahun harus sama dengan usia wanita. Masing-masing pasangan suami-istri berada pada usia 21 tahun dengan pertimbangan bahwa dari aspek psikologis, sosiologis, dan kesehatan, keduanya seimbang.  Hal itu dikemukakan disebabkan oleh karena dalam kenyataan, banyak rumah tangga yang berakhir dengan perceraian disebabkan adanya perbedaan mendasar di antara suami-istri.
Dalam bahasa agama, suami-istri yang demikian disebut tidak sekufu. Misalnya suami berasal dari keluarga yang ekonominya mapan sementara istri dari keluarga sederhana, atau istri yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial tinggi sedangkan suami berasal dari keluarga biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut sering menjadi sumber perselisihan berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan ketidakharmonisan keluarga tersebut.  Sakralitas lembaga perkawinan berkaitan erat dengan eksistensi manusia sebagai makhluk yang paling mulia di antara mahkluk Allah SWT lainnya.
Hubungan-hubungan antara sesama manusia, khususnya hubungan antara seorang pria dan seorang wanita dewasa dalam rangka penyaluran hasrat biologisnya diatur sedemikian rupa sehingga tidak liar. Hubungan antara manusia tentu berbeda dengan hubungan makhluk Allah SWT lainnya seperti binatang. Hubungan-hubungan antara sesama binatang itu, termasuk hubungan biologis yang tidak diatur sebagaimana pada manusia.  Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa sebagai salah satu syarat untuk mencapai keluarga sakinah adalah memelihara sakralitas (kemuliaan, kesucian) lembaga perkawinan.
Bagi yang sudah menjalaninya tentu berusaha senantiasa menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan keluarganya sehingga perkawinan itu tetap lestari.  Sedang bagi yang belum dan akan memasuki dunia perkawinan, maka cara memelihara kesakralan perkawinan itu adalah memulainya dengan niat yang tulus-ikhlas, memenuhi persyaratan-persyaratannya serta melaksanakannya sesuai dengan tuntunan dan kaidah agama, sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Berdasarkan cara itu, tampak benar bahwa lembaga perkawinan betul-betul sakral dan merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Disediakannya lembaga-lembaga perkawinan yang sakral bagi umat manusia, selain untuk memelihara kemuliaan manusia, juga dimaksudkan agar terwujud generasi atau keturunan yang jelas. Dari generasi itu akan lahir generasi berikutnya secara berantai dengan untaian hubungan yang jelas. Pengaturan hukum keluarga, termasuk hukum perkawinan akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Indikasinya adalah bahwa keluarga yang sehat akan melahirkan generasi yang berkualiatas, tidak hanya dari segi lahiriah tapi juga dari segi batiniah.  Dalam konteks kecerdasan, batas usia perkawinan ideal harus diformulasi sebagai sebuah agenda yang berkelanjutan untuk memperoleh sebuah periode generasi yang benar-benar berkualitas. Persaingan global yang akan dihadapi, salah satunya adalah menyangkut kualitas SDM sehingga sudah saatnya memberi peluang pendidikan bagi masyarakat untuk mengupayakan terbangunnya generasi-generasi berkualitas baik.
Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka konsep masyarakat madani di Indonesia akan dengan mudah dapat diciptakan. Dalam kaitannya dengan penciptaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas baik, keluarga sakinah juga memegang peranan yang sangat penting. Keluarga yang sehat, baik dan sejahtera lahir-batin akan melahirkan keturunan atau generasi yang sehat dan kuat. Keturunan-keturunan demikian akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang cerdas dan pada waktunya nanti akan menjadi SDM yang berkualitas baik, yang tidak hanya bermanfaat bagi keluarganya, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat luas. Keluarga sakinah merupakan dambaan setiap suami-istri, dan menjadi esensi dan tujuan perkawinan.
Shihab (2000: 133) memahami sakinah dengan menerangkan bahwa jika yang muncul dari gejolak cinta dalam hati yang diliputi oleh ketidakpastian, akan berakhir dengan sakinah dan ketenteraman hati sebagai sebuah perkawinan. Pemikiran yang dikemukakan tersebut, merupakan indikasi dan gambaran kehidupan rumah tangga yang sakinah. Secara normatif  Allah SWT memberikan keterangan dalam konteks yang berbeda. Di dalam al-Quran, kata “sakinah” diulang sebanyak enam kali (dalam dua surah dan enam ayat), yaitu antara lain; QS. at-Taubah ayat (25-26), al-Fath ayat (4), (18), (26). Oleh karena itu, keluarga yang sakinah harus dijadikan tujuan dengan  kesiapan mental dan kedewasaan usia karena akan menentukan stabilitas jiwa dan kematangan psikologis dari pasangan suami-istri. 

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Perkawinan memiliki makna yang mulia dan sesuai dengan status yang disandang oleh manusia sebagai makhluk yang mulia di hadapan Sang Maha Pencipta. Ditinjau dari aspek ontologis, dasar keberadaan perkawinan terletak pada perjanjian atau ikatan batin yang menjalin dua makhluk yang berbeda jenis; pria dan wanita, dari aspek epistemologis, perkawinan merupakan khazanah peradaban manusia yang pertumbuhan atau perkembangannya secara langsung atau tidak langsung dilandasi oleh ilmu pengetahuan, dan dari aspek aksiologis, perkawinan dipahami sebagai salah satu nilai kehidupan yang bersifat mendasar sehingga perkawinan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang berdimensi agama, etika, dan estetika.
Nilai religius perkawinan bersumber dari agama yang menetapkan perkawinan sebagai bibit pertama dan cikal bakal kehidupan masyarakat, dan aturan yang bersifat alami bagi alam semesta yang diciptakan Tuhan dalam rangka menjadikan kehidupan semakin bernilai dan mulia.

DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo, Soedjono, 1984, Filsafat Hukum dalam Konsepsi dan Analisa, Alumni, Bandung
Departemen Agama Republik Indonesia, 2005, al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Syamil Cipta Media, Jakarta.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 1995/1996, “Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Tim Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Jakarta.
Djamil, Fathurrahman, 1999, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta .
Dyah, Indriaswati, 2000, “Laporan Hasil Penelitian” dalam LBH-APIK, Sejarah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender dalam Perspektif Wanita, LBH-APIK, Jakarta.
Effendi, Bachtiar, 1995, “Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia”, dalam Prisma, No.5 Th XXIV Mei 1995, Jakarta.
Faiz, Fahruddin, 2002, Hermeneutika Qur’ani, Penerbit Qalam, Yogyakarta.
Friedman, Lawrence M., 1969, The Legal System: A Sosical Science Perspective, Russel Soge Foundation, New York .
Friedmann, W., 1990, Teori & Filsafat Hukum (Susunan I), Diterjemahkan oleh; Mohammad Arifin, Rajawali, Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta .
Tasrif, S., 1986, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta.
Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta.
Alam, Andi Sjamsu, 2006, Usia Ideal untuk Kawin, Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah, Kencana Mas Publishing House, Jakarta .
Anshari, Endang Saifuddin, 1979, Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya.
Asy’ari, Musa, 1999, Filsafat Islam, LESFI, Yogyakarta  .
Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta .
Bertens, Kees, 2005, Panorama Filsafat Modern, Teraju, Jakarta .
Dahlan, M. Shodiq, 1989,  “Hukum dan Keadilan” dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, (ed.), Lili Rasjidi, dan Arief Sidharta, B., ed., Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remaja Karya, Bandung .





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Usia Perkawinan dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Hukum Perkawinan"

Post a Comment