BAB II
PEMBAHASAN
A. Sunnah
Secara
Etimologis, kata Sunnah berarti jalan atau tata cara yang telah mentradisi.
Sunnah juga berarti Praktek yang diikuti, arah, model perilaku atau
tindakan,ketentuan dan peraturan.
Disisi lain
sunnah juga diartikan sebagai penengah di antara beberapa extoimitas, atau
midle way (jalan tengah).
Di dalam
Al-Qur’an kata sunnah disebut sebanyak enam belas kali termasuk sunnah (bentuk
Pluralnya). Kata sunnah dalam Al-Qur’an digunakan untuk beberapa konteks yang
secara garis besar dapat digolongkan kedalam dua hal yakni yang berkenaan
dengan ketetapan orang-orang terdahulu (Sunnah Al-Awwalin) dan ketetapan Allah
(Sunatullah).
1.
Sunnah
Al-Awwalin adalah kejadian yang menimpa pada orang-orang terdahulu
2.
Sunnatullah
mengandung arti ketentuan Allah, cara-cara atau aturan yang berlaku bagi
makhluk-Nya.
Kata Sunnah
juga banyak dijumpai dalam sabda Nabi seperti :
Artinya: “
Barang siapa yang enggan dengan sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku”
(H.R. Ahmad)
Sunnah dalam
Hadis ini berarti tata cara, yakni barang siapa yang tidak mengambil tata cara
Nabi termasuk Golongan Nabi. [1]
Kata Sunnah
juga digunakan sebagai istilah tekhnis dalam berbagai disiplin ilmu ke islaman.
Ulama’ Muhaditsin memberikan terminologis Sunnah sebagai berikut.
Segala sesuatu
yang berasal dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, ketetapan, karakteristik,
etik dan fisik atau sejarah, baik sebelum kenabian, seperti menyendidi digua
hiro maupun sesudahnya.
Disisi lain
para Ulama Usuliyyin mendefisikan sunnah sebagai berikut : segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi selain Al-Qur’an berupa Perkataan, perbuatan atau
ketetapan yang menghasilkan dalil bagi hokum syari’at. Sedangkan ulama Fiqh
memberikan definisi sunnah adalah segala sesuatu yang ditetapkan dari
Rasulullah yang tidak termasuk kategori fardhu dan tidak wajib.
Sementara itu
menurut al-Azhariy, sunnah adalah jalan yang lurus lagi terpuji. Oleh karena
itu, apabila dikatakan : “fulan min ahl al-sunnah” maka pengertiannya adalah pengikut
jalan yang lurus lagi terpuji.[2]
Perbedaan
definisi di kalangan ulama’ mengenai sunnah tersebut muncul karena perbedaan
sudut pandangan mereka dalam memahami kedudukan Rasulullah, ulama muhaditsin
melihat pengertian sunnah bahwa Rasulullah adalah sosok pemimpin dan pemberi
tauladan yang baik. Sehingga mereka mengambil apa saja yang berkaitan dengan
Nabi, baik berupa sejarah,budi pekerti, berita-berita, sabdah-sabdah maupun
tindakannya, baik yang mengandung ketentuan hukum maupun tidak.
Di sisi lain ulama usuliyyin semata mata meninjau sunnah
dalam persepektif bahwa Rasulullah adalah legistor syari’ah. Yang menetapkan
dasar hokum bagi para Mujtahid dan yang menjelaskan kaedah hidup bagi manusia.
Oleh karena itu mereka hanya
memperhatikan sabdah, perbuatan dan persetujuan beliau dalam konteks legislasi
hokum dan pengukuhannya.
Dalam
pengertian khusus termasuk sunnah di tujukan kepada perkataan dan takrir
(ketentuan) Rasulullah. Oleh karena itu sunnah identic dengan hadits.
Kadang-kadang
sunnah di tujukan kepada realitas praktis dalam menerapkan syari’at pada masa
kenabian. Artinya kondisi yang di praktikan oleh umat islam
pada periode awal.
B. Bid’ah
Menurut
para ulama’, Bid’ah berarti segala sesuatu yang
diada-adakan dalam bentuk yang belum ada dari Nabi Muhammad SAW, sahabat,
generasi sesudahnya. Artinya segala
perbuatan yang diada-adakan dalam ajaran agama tanpa ada landasan syari’at. [3]
Menurut Imam Syafi’I : Bid’ah adalah segala hal yang baru
yang terdapat setelah masa Rasulullah, Khulafatur Rasyiddin, Ibn Rojab
al-Hambali seorang fuqaha mengatakan/mendefinisikan bahwa Bid’ah adalah sesuatu
yang baru yang tidak ada dasar syari’atnya. Sedangkan Syatibi seorang fuqaha
juga menyatakan bahwa : Bid’ah adalah sesuatu thariqah atau metode yang
diciptakan menyerupai syari’at dalam ajaran agama untuk di kerjakan sebagai
ibadah kepada Allah SWT.
Menurut Ushul Fiqh, Bid’ah
diklasifikasikan menjadi dua bagian :
1. Bid’ah
meliputi segala sesuatu yang di ada-adakan dalama bidang ibadah saja. Bid’ah
dalam pengertian ini adalah segala urusan yang sengaja di ada-adakan dalam yang
di pandang menyamai syari’at agama, dan mengerjakan secara berlebih-lebihan
dalam beribadah kepada Allah SWT.
2. Bid’ah
yang meliputi segala urusan yang sengaja di ada-adakan dalam agama, baik yang
berkaitan dengan urusan-urusan ibadah maupun urusan adat.
Para ulama’ mengklasifikasikan bid’ah menurut bahasa
menjadi dua bagian, yakni :
a.
Bid’ah
Hasanah (Inovasi yang Baik) dan
b.
Bid’ah
Sayyiah ( inovasi yang jelek).
Bid’ah hasanah
di Klasifikasikan lagi menjadi :
a. Bid’ah
wajibah
Bid’ah Wajibah adalah
segala perbuatan yang masuk dalam kategori kaedah wajib dan masuk juga dalam
kehendak agama. Misalnya : Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu Mushab atau
menetapkan kaedah untuk menggali hokum Al-Qur’an. Perbuatan ini dianggap
sebagai Bid’ah karena tidak ada praktek dan contoh pada masa Rasulullah SAW.
b. Bid’ah
Mandubah
Bid’ah Mandhubah adalah
segala perbuatan yang masuk dalam kategori kaedah nadb (sunnah) misalnya :
mengerjakan sholat tarawih secara berjama’ah pada bulan Ramadhan. Perbuatan ini
masuk dalam kategori Bid’ah, karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Inovasi shalat tarawih berjama’ah tersebut pertama kali
dilakukan oleh Umar Ibn khotob.
Bid’ah Sayyiah
di klasifikasikan menjadi dua yakni :
a. Bid’ah
Makruhah
Bid’ah Makruhah adalah
segala perbuatan/ pekerjaan yang termasuk ke dalam kategori perbuatan yang di
benci (makruh) misalnya : menambah-nambah perbuatan sunnah yang sudah ada
batasnya.
b. Bid’ah
Mukaramah
Bid’ah Mukaramah adalah
segala perbuatan yang termasuk kedalam kategori yang di haramkan, seperti
melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran islam yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Bid’ah ini di sebut Hakikiyah (Bid’ah
dalam ibadah).
Sementara para Ulama yang memandang Bid’ah
dari aspek syari’at membagi bid’ah kedalam dua jenis yakni : Bid’ah Al-Adiyah
(Bid’ah dalam kebiasaan/adatsehari-hari) dan Bid’ah ta’abudiyah ( bid’ah dalam
ibadah).
Bid’ah al-Adiyah adalah adat kebiasaan
duia yang telah diserahkan oleh Rasulullah kepada umatnya dilaksanakan atau
ditinggalkan, sebagaimana sabdanya : “ kamu lebih tahu dengan urusan duniamu”
(H.R. Muslim). Jadi menurut kelompok ini bid’ah dalam arti sebenarnya adalah
hanya terbatas pada hal-hal yang menyangkut ibadah.
Kelompok ini memandang bahwa pengertian
bid’ahwajibah dan mandhubah, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama dalam
aspek kebahasaan, dianggap sebagai al-Maslahah al-Mursalah. Oleh karena itu,
mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an dan sunnah tidak dianggap sebagai perbuatan
bid’ah, tetapi merupakan salah satu bentuk al-Maslahah al-Mursalah.
Menurut Al-Syatibi, bid’ah dapat
digolongkan atas dua macam, yakni : bid’ah hakikiyah (bid’ah hakiki) dan bid’ah
idafiyah (bid’ah karena hal lain).
Bid’ah Haqiqiyah adalah segala sesuatu
yangtidak ada dasar rujukanyadalam syari’at baik dari Al-Qur’an, Sunnah, ijma
maupun dalil-dalil lain yang biasa digunakan sebagai pedoman ulama’ dalam
menetapkan hokum, contoh : menghalalkan yang haram dan sebaliknya dan
menciptakan ibadah diluar ketentuan syara’.
Bid’ah idafiyah yaitu sesuatu yang
dianggap sebagai bid’ah berdasarkan salah satu sisinya; artinya dari sisi
pertama tidak termasuk Bid’ah tetapi dari sisi lain termasuk bid’ah, seperti :
ibadah merupakan sunnah Rasulullah tetapi mengkhususkan satu hari untuk ibadah,
adalah bid’ah.
Menurut izzat ali id Aliyah, bid’ah
dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk yaitu :
1. Bid’ah
I’tiqadiyah (bid’ah dalam keyakinan) yaitu bid’ah karena menganut keyakinan
yang tidak sesuai dengan keyakinan yang dibawa oleh Rasulullah, seperti :
Bid’ahnya keyakinan kelompok Majassima (golongan yang menganut paham
antaropomorfisme), kaum khawarij dan lain-lain.
2. Bid’ah
Qualiyah (Bid’ah Ucapan) yakni suatu bid’ah karena mengubah atau memalsukan
ucapan Nabi SAW seperti mengubah Haditstentang kewajiban membayar zakat yang
ditetapkan Rasulullah.
3. Bid’ah
Amaliah (Bid’ah dalam Perbuatan) yaitu Bid’ah karena menentang perbuatan
Rasulullah SAW dalam hadits-haditsnya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Sunnah
: secara etimologis berarti jalan atau tata cara yang telah mentradisiyang
dilalui oleh orang-orang terdahulu kemudian diikuti oleh orang-orang
belakangan.
2. Dalam
Al-Qur’an kata sunnah digunakan untuk beberapa konteks yang secara garis besar
dapat digolongkan kedalam dua hal yaitu :
a. Sunnah
al-awwalin adalah sunnah yang berarti kejadian yang menimpa pada orang-orang
terdahulu.
b. Sunnatullah
yang mengandung arti ketentuan Allah SWT (cara atau aturan yang berlaku bagi
makhluknya.
3.
Para
Ulama’ usuliyyin mendefinisikan sunnah sebagai berikut :
Sunnah
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW selain Al-Qur’an berupa
perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang menghasilkan dalil-dalil bagi hokum
syari’at. Sedangkan ulama’ Fiqh memberikan definisi sebagai berikut : sunnah
adalah segala sesuatu yang ditetapkan dari Rasulullah yang tidak termasuk
kategori fardhu dan tidak wajib.
4.
Menurut
para Ulama’, bid’ah berarti segala sesuatu yang diada-adakan dalam bentuk yang
belum ada dari nabi Muhammad SAW, sahabat, generasi sesudahnya. Artinya segala
perbuatan yang diada-adakan dalam ajaran tanpa ada landasan syari’at.
5.
Para
ulama’ mengklasifikasikan bid’ah menurut bahasa menjadi dua bagian :
a.
Bid’ah
hasanah, yaitu inovasi/jalan yang baik
b.
Bid’ah
Sayyiah, yaitu inovasi/jalan yang jelek
DAFTAR
PUSTAKA
Mustajib M.A. dkk, Aqidah Akhlak H. UT, 1996
Islam Ahlu sunnah wal jama’ah di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU
KBBI Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka
0 Response to "Antara Sunnah dan Bid'ah"
Post a Comment