BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, terorisme merupakan salah satu
topik pembahasan terpenting yang kerap menjadi obyek pembicaraan kalangan
politisi dan para ahli. Dikarenakan pentingnya permasalahan ini, banyak
tulisan-tulisan dan ide-ide yang dituangkan dengan berbagai macam cara guna
mengkaji masalah ini.
Tidak dapat diragukan, pasca peristiwa 11
September di dunia barat terjadi gelombang serangan terhadap Islam. Gelombang
serangan ini sedemikian besar sehingga tidak dapat tersembunyi dari siapa pun.
Dengan dalih memerangai teroris, ajaran-ajaran luhur agama Islam luput menjadi
obyek sasaran penguasa-penguasa barat, dan kaum muslimin diperkenalkan
sebagai wajah-wajah teroris. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan dana besar
dan kebijakan apapun guna menjaga kepentingan pemerintahan dan rezim mereka.
Mereka lupa bahwa sejak semula keberadaannya, Islam telah mencanangkan perang
melawan terorisme sebagai salah satu agendanya, dan di masa dimana kekerasan
menjadi ideologi masyarakat kala itu, Islam datang seraya menjunjung tinggi jiwa,
kepemilikan dan harkat martabat manusia.
Oleh karenanya, perlu bagi kita untuk
menjelaskan pandangan Islam mengenai terorisme dan dengan berpijak pada
titik-titik persamaan dalam definisi dari istilah yang ada, kami akan
menjelaskan poin-poin utama pengertian terorisme yang terdapat dalam
ajaran-ajaran agama Islam.
Intinya, studi ini mencoba untuk membuktikan bahwa agama
Islam bukan hanya agama anti teror dan terorisme, bahkan ia adalah agama yang
memiliki strategi yang matang dalam memerangi dan menghadapai aksi terorisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah
dari makalah ini adalah :
1.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang definisi teroris dan terorisme?
2.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang aktivitas-aktivitas teroris?
3.
Bagaimana solusi untuk mengatasi malasah ini?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
1.1 Definisi Terorisme dan kekerasan
Sebelum mendiskusikan tentang terorisme, kita harus tahu
dan paham tentang definisi dari teror itu sendiri.
Teror secara
etimologi berasal dari kata “terrour”
(Inggris Tengah), “terreur” (Perancis
lama), “terror” (Latin) dan “terre” (Latin), yang artinya adalah
untuk menakuti.
Sedangkan
Menurut ensiklopeddia Indonesia tahun 2000, terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang
diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptkan suasana ketakutan dan bahaya
dengan maksud menarik perhatian nasional atau internasional terhadap suatu aksi
maupun tuntutan. Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelangaran
(penyiksaan, pemulakulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga
batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan,
tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan ketajaman
terhadap binatang.
Istilah
“kekerasan” juga mengandung kecendrungan agresif untuk malakukan prilaku yang
merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil di
bandingkan dengan kekerasan terhadap orang.
Keekrsana pada
dasarnya tergolong kedalam dua bentuk – kekersan sembarang, yang mencakup
kekerasan dalam skala keci atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang
terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberikan hak
maupun tidak – seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekersan
antar-masyarakat) dan teroris.
1.2 Penyebab Kekerasan Atas Nama Agama
Perlu disadari bahwa faktor
kekerasan agama tidak hanya dipicu oleh faktor eksternal seperti kepentingan politik,
ekonomi dan sosial. Faktor internal juga dapat memberikan kontribusi yang
besar. Masalah interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu masalah utama
yang bisa mendorong umat beragama melakukan tindak kekerasan.
Di dalam sejarah
kekristenan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh gereja karena
kesalahan dalam melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci. Orang-orang yang
tekstualis memahami apa yang tertulis di dalam Alkitab secara literal dan
menerapkannya di dalam konteks yang berbeda. Proses eksegese yang sebenarnya
diabaikan sehingga mereka gagal untuk mendapatkan makna dari apa yang tertulis
dan memusatkan perhatian terhadap teks secara mentah tanpa melakukan penggalian
apapun.
Hal itu pun sama terjadi
terhadap agama Islam, khususnya di Indonesia. Berdasarkan survei yang
dilakukan, perilaku kekerasan agama di Indonesia berkorelasi positif dengan
pemahaman agama yang tekstual. Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu
berasal dari Alqur’an, seperti kebolehan suami memukul istri bila ia mangkir
dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35), maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan
anak perlu diperintahkan salat ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul
(bila tidak salat) ketika berumur sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran
Islam tentang perlunya kekerasan.[11]
Survei menunjukkan bahwa
orang yang bersedia merusak gereja yang tidak memiliki izin berjumlah 14,7%,
mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%, merajam orang berzina 23,2%, perang melawan
non-muslim yang mengancam 43,5%, menyerang atau merusak tempat penjualan
minuman keras 38,4%, mengancam orang yang dianggap menghina Islam 40,7%, jihad
di Afghanistan dan Irak 23,1%, dan jihad di Ambon dan Poso 25,2%. Sementara
untuk bentuk tindakan kekerasan yang bersifat domestik, diperoleh tingkat
kesediaan berikut: mencubit anak agar patuh pada orangtua 22%, memukul anak di
atas sepuluh tahun agar salat 40,7%, suami memukul istri jika tidak melakukan
kewajibannya 16,3%.[12]
Berdasarkan hal di atas
agama terkesan merupakan sumber dari kekerasan akan tetapi pemahaman yang
tekstualis terhadap Kitab Suci agama lah yang bisa menjadi variabel yang paling
signifikan dalam mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama. Di samping
mendorong perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi
positif dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat dalam diri seseorang.
Agama profetik seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera
setelah identitas mereka terancam. Persaingan antar agama yang memicu konflik sangat
mudah terjadi apabila salah satu kelompok merasa identitasnya terancam.
Misalkan bisa kita lihat pada konflik Ambon dan Poso jika dalam konteks dalam
negeri.
Potensi ini menjadi semakin
besar ketika para pemimpin politik berusaha mengkonstruksi identitas negara
berdasarkan agama tertentu yang mayoritas. Di satu sisi itu bisa menimbulkan
arogansi dari kelompok pemeluk agama yang mayoritas dan perasaan terancam dan
terintimidasi yang dirasakan oleh kelompok minoritas.
Di Indonesia pada saat ini
kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam fundamentalis yang berusaha untuk
mendirikan negara Islam. Sudah terbukti bahwa itu merupakan salah satu sumber
terbesar kekerasan agama yang terjadi di negara kita. Bukan hanya gereja atau
kelompok agama lain yang dianggap sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam
lainnya yang tidak setuju dengan ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara
kita mengalami penderitaan yang sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk
agama dan memicu terbentuknya semangat separatis.
1.3 Penyebab Tindakan Terorisme Atas Nama Agama
Dilihat dari perkembangan aksi
terorisme di Indonesia saat ini, memang hampir setiap aksi terorisme yang
dilakukan pasti selalu dikaitkan atas nama agama. Kita sebagai masyarakat yang
hidup di Indonesia tentu bertanya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Apa
alasan atau faktor-faktor yang menyebabkan mereka selalu menggunakkan nama
agama dalam melakukan setiap aksi teror mereka? Apa yang telah diajarkan oleh
agama tersebut sehingga para pengikutnya melakukan aksi terorisme? Padahal
setiap agama mengajarkan kita untuk mengadakan pedamaian di dunia. Dari sini
dapat diketahui bahwa ada sebagian dari masyarakat Indonesia yang sudah
menganggap agama sebagai sebuah lembaga/badan bahkan sebuah atribut saja dan lupa
akan substansi dari agama tersebut. Orang-orang tersebut sangat meyakini bahwa
agama mereka yang paling benar dan menganggap bahwa agama yang lain itu salah
dan sesat sehingga mereka memberantas siapapun yang beragama lain tanpa
menyadari bahwa mereka telah mencemari substansi dari agamanya sendiri. Untuk
mengetahui pembahasan masalah ini secara lebih jelas, maka pertama-tama kita
perlu mengetahui faktor penyebab aksi kekerasan atau terorisme atas nama agama
ini. Secara singkat dan khusus, ada beberapa faktor yang menyebabkan para
pelaku teror melakukan kekerasan (terorisme) atas nama agama, yaitu :
1)
Kurangnya
pendidikan agama yang dia peroleh atau dengan kata lain dia tidak menghayati
atau memahami keseluruhan esensi dari agama yang dia anut.
2)
Kurangnya
pengawasan serta perhatian dari orang tua atau keluarganya serta kerabat
baiknya dalam mengendalikan cara pergaulannya di dalam lingkungan sehingga ia
mudah dihasut.
3)
Lingkungan
pergaulan, di manapun itu, yang tidak kondusif serta berpotensi menumbuhkan
pola pikir sempit atau skeptis bahkan radikal terhadap agama yang ia anut.
Sebagai contoh akhir-akhir ini banyak orang-orang Indonesia yang pergi ke Timur
Tengah atau Afganistan bahkan beberapa negara lainnya seperti Filipina yang di
mana pada awalnya tujuan mereka pergi ke sana ialah untuk studi namun kemudian
setelah pulang kembali ke Indonesia mereka berubah menjadi teroris diakibatkan
oleh pengaruh lingkungan serta ajaran selama mereka berada di sana dari
orang-orang berpola pikir sempit serta radikal. Contoh lainnya ialah di mana
tersangka teroris seperti Imam Samudera dan Amrozi yang memang sejak muda sudah
dilatih dan tinggal di lingkungan militan teroris di Afganistan sehingga wajar
jika begitu pulang ke Indonesia mereka sudah jadi teroris.
4) Ketidakpuasan
ekonomi dan hal-hal yang bersifat material yang dia peroleh dalam hidup,
sehingga untuk melampiaskan kekesalan dan ketidakpuasannya dia melakukan aksi
teror dengan dalih atas nama agama karena mungkin saja hal itu justru akan
mengobati ketidakpuasannya dalam bidang ekonomi tersebut.
5)
Agama
memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para pemimpin
politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan kekerasan.
6)
Agama
merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila para
pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas, untuk
mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan akan
terbuka lebar.
7)
Agama bisa digunakan
secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok yang berkaitan
dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material lainnya.
Itulah gambaran beberapa faktor yang
menyebabkan orang melakukan tindakan aksi kekerasan atas nama agama di
Indonesia ini. Sebagai manusia yang beragama dan beriman, tentu saja kita tidak
menginginkan ketujuh hal tersebut terjadi pada kita maupun pada anak, keluarga,
dan kerabat baik kita semua.
1.4 Upaya Pencegahan Tindakan Kekerasan atas Nama Agama
Ada banyak hal dan upaya yang bisa dilakukan demi mencegah terjadinya tindakan
kekerasan atas nama agama. Bahkan beberapa orang tokoh kenamaan masyarakat dan
nasional telah berulang kali menyatakan pendapatnya dalam rangka mencegah
terorisme, salah satunya ialah pendapat yang mengatakan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku teror
harus dilakukan dengan tegas, adil, dan bijaksana. Penegakan hukum ini harus
dilakukan terus menerus baik secara terbuka dan tertutup (intelijen) baik untuk
pencegahan maupun penindakan. Dengan
terjadinya peledakan bom di Hotel Marriot dan Ritz-Carlton timbul kesan bahwa
upaya pencegahan kurang berhasil dibandingkan dengan upaya penindakan yang
sudah berhasil menangkap lebih dari tiga ratus teroris. Dalam penindakan aksi
terorisme, tujuan penghukuman bukanlah untuk balas dendam, tetapi untuk
menimbulkan efek jera kepada pelaku dan menimbulkan efek pencegahan (deterrence
effect) bagi orang lain. Pembinaan pelaku teror dan keluarganya atau
kelompoknya juga perlu dilakukan dengan komprehensif untuk menyadarkan pelaku.
Keterlibatan para ahli, organisasi keagamaan, atau tokoh agama kiranya tetap
diperlukan. Adakalanya penyidik atau penuntut umum perlu menguasai dengan baik
organisasi teroris dan ideologi yang melatarbelakanginya.
Selain itu hal yang paling penting adalah sikap kita untuk belajar pada
pengalaman dan berkehendak untuk lebih terbuka dan kritis dengan situasi yang dihadapi.Upaya
membangun hubungan yang berpijak pada prinsip persamaan, keterbukaan, dan
saling menghargai adalah wujud mutlak yang harus dilakukan untuk membenahi
jalinan kusut hubungan sosial kemasyarakatan kita selama ini. Bila tidak, maka
niscaya akan sulit membangun sebuah sistem sosial yang adil, terbuka dan saling
menghargai.
Mengapa penting sikap saling terbuka itu ditanamkan di antara kita. Sikap
terbuka berarti sikap untuk mau menerima orang lain, menerima berbeda pandangan
dengan orang lain, menerima berbeda pendapat dengan lain. Selain itu, juga ada
inisiatif atau kehendak untuk mengafirmasi kelompok yang berbeda dari kita.
Terbuka bukan berarti hanya sikap mau menerima, tapi juga sikap dalam bentuk
kehendak untuk mengafirmasi orang lain.
Gagasan inilah yang mendesak untuk
dikembangkan dalam rangka membangun hubungan keberagamaan di masyarakat, baik
di kalangan internal maupun di kalangan eksternal. Demikian, tidak akan terjadi
peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan keyakinan agama.Kendati demikian,
gagasan ini bukan sebuah praktik yang mudah dilakukan di lapangan.
Betapapun ini merupakan sebuah gagasan ideal yang harus muncul dari
individu-individu yang berkesadaran. Akan sulit mengharapkan individu semua
yang ada di dunia ini memiliki kesadaran sama dalam menciptakan hubungan di
masyarakat. Karena sulit itulah maka diperlukan sebuah otoritas yang dapat
mendesakan kehendaknya kepada seluruh individu di masyarakat. Otoritas itu
harus mampu bersifat netral, dan harus merupakan representasi dari semua
golongan dan kelompok. Agar dapat mencegah terjadinya dominasi golongan dalam
praktiknya.
1.5 Terorisme
Menurut Pandangan Islam
A. Terorisme Dalam Al-Qur’an
Islam
sebagai agama, pandangan hidup, dan sebagai “way of life” atau jalan hidup bagi
penganutnya, tentu saja tidak mengijinkan dan bahkan mengutuk terorisme. Islam
dengan kitab sucinya Al Quran yang mengajarkan tentang moral-moral yang
berdasarkan konsep-konsep seperti cinta, kasih sayang, toleransi dan kemurahan
hati.
Nilai-nilai
yang ada di dalam Al Quran membuat seorang Muslim bertanggung jawab untuk
memperlakukan semua orang, apakah itu Muslim atau non-Muslim, dengan rasa kasih
sayang dan rasa keadilan, melindungi yang lemah dan yang tidak bersalah dan
mencegah kemungkaran. Membunuh seseorang tanpa alasan adalah salah contoh yang
jelas dari kemungkaran
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS
28:77)
Ayat ini memerintahkan manusia untuk
berbuat kebaikan dan melarang manusia untuk berbuat kerusakan. Dan juga
dijelaskan dalam Al Quran bahwa jika seseorang membunuh, walaupun hanya satu
orang, maka kejahatan itu sama saja dengan membunuh seluruh manusia.
Dari ayat ini pun dapat difahami bahwa hanya
terdapat dua kelompok manusia yang layat untuk dibunuh atau di hukum mati, yang
pertama ialah mereka yang telah melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan yang
kedua ialah mereka yang telah berbuat kerusakan di muka bumi. Jelaslah
mengeksekusi orang-orang yang tidak melakukann dua pelanggaran besar ini, sama
sekali tidak dapat dibenarkan dan pelakunya pun dianggap telah melakukan
pembunuhan seluruh manusia.
Contoh kasus terorisme yang mengatasnamakan islam :
1. Serangan 11 September 2001 terhadap
gedung WTC di Amerika Serikat yang dilakukan Osama bin Laden yang menewaskan
kurang lebih 3000 orang.
2. Bom Bali 1, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka
3. Bom Bali 2, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali.
Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang
terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di
Nyoman Café Jimbaran.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Peristiwa 11 September telah dijadikan dalih
untuk mencuatkan kembali permasalahan teror dan terorisme hingga menjadi isu
internasional, dan agama suci Islam menjadi terget sasaran media-media barat.
Sejak saat itu, tuduhan terorisme diarahkan ke dunia Islam sehingga munculah
rasa kecurigaan terhadap ajaran-ajaran suci Islam.
Setelah mengkaji definisi terorisme,. Dimana
berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis dan pernyataan-pernyataan fuqaha
dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam teks-teks agama Islam tidak
disebutkan kata atau istilah yang benar-benar sepadan dengan istilah terorisme,
akan tetapi dari naskah-naskah yang ada kita mendapatkan bahwa sejak awal
kemunculannya, Islam telah melarang setiap orang muslim untuk melakukan aksi
teror, bahkan tidak cukup hanya itu, Islam pun telah memberikan solusi
dan strategi guna menghadapi dan memerangi gerakan terorisme.
Ringkasnya, agama suci Islam mengandung
ajaran-ajaran yang bukan hanya melarang dan menyatakan keilegalan segala bentuk
tindakan terorisme, bahkan melihat solusi yang ditawarkan guna menghadapi
gerakan terorisme, ajaran-ajaran tersebut dapat menjadi acuan bagi
undang-undang internasional dalam rangka memberantas akar terorisme dari dunia
ini.
4.2 Saran
Makalah ini berupaya untuk membuktikan bahwa
agama Islam memiliki kepedulian yang tinggi seputar masalah terorisme. Dan
merurut pandangan Islam, definisi yang diutarkan para ilmuan barat mengenai
istilah terorisme merupakan batas minimal sesuatu yang harus ditekankan dalam
sebuah masyarakat, namun ia tidak dapat menjadi penjamin bagi keamanan dunia.
Dan untuk mencapai tujuan ini, hedaknya
mereka menjauhi pola pemikiran barat dalam pendefinisian terorisme, sehingga
mereka dapat mengidentifikasi hakikat terorisme sesuai perspektif Islam. Karena
tanpa demikian, kita tidak akan ada definisi terorisme yang Islami menurut
pandangan islam yang pada akhirnya kita pun tidak akan mencapai solusi yang
matang guna memerangi gerakan terorisme
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
Dr. H.M. Nasution, Yasir, Islam
Pluralisme dan Terorisme, (Binjai: Al–Khairi. Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Kemasyarakatan, 2007), h. 6
0 Response to "Kekerasan Dan Terorisme"
Post a Comment